Oleh: Bayu Santoso
Kilas balik nepotisme, yang berasal dari kata nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada abad pertengahan beberapa kasus polotik dan uskup yang telah mengambil janji “chasity” sehingga tidak memiliki anak kandung dan memberikan kedudukan terhadap keponakannya seolah-olah anaknya sendiri yang kemudian praktek nepotisme tersebut sering ditujukan untuk melanjutkan dinasti kepemimpinan, contohnya Paus Kallistus III dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal (pimpinan) dan salah satunya Rodrigo yang kemudian menggunakan posisinya sebagai batu loncatan ke posisi Paus, menjadi Paus Aleksander VI dan terus berjalan hingga pada akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan romanum decet pontificem pada 22 Juni tahun 1692, melarang jabatan kardinal-keponakan dan membatasi penerusnya untuk mengangkat hanya satu kerabat kardinal hingga membatasi sumbangan dan gaji keponakan seorang Paus, “romanum decet pontificem” kemudian dimasukkan dalam kitab hukum kanolik tahun 1917 dalam kanon 240, 2: 1414, 4; dan 1432,1. Di Indonesia sendiri adanya nepotisme diiringi dengan korupsi dan kolusi dan kita kenal dengan singkatan (KKN) yang kemudian pada era orde baru dijadikan sebagai salah satu pemicu gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto pada tahun 1998.
Sejarah panjang telah membuktikan adanya praktik nepotisme dalam tubuh pemerintah, bahkan sampai dengan hari ini praktek tersebut menjadi satu kebiasaan yang kemudian dibudayakan dan dilazimkan, selanjutnya kalau kita melihat kilas balik sejarah berdirinya Muhammadiyah yang diilhami oleh Alqur’an dan as-sunnah yang kemudian melahirkan pokok-pokok pemikiran Muhammadiyah yang memberikan gambaran tentang pandangan hidup Muhammadiyah dimuka bumi ini dalam mewujudkan cita-citanya. Dari kilas balik inilah yang kemudian termaktub pokok-pokok pemikiran Muhammadiyah dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah (ADM). Pertama, hidup manusia harus bertauhid, bertuhan, beribadah serta tunduk dan taat kepada Allah SWT. Kedua, hidup manusia itu bermasyarakat. Ketiga, hanya hukum Allah SWT yang dapat dijadikan sendi untuk membentuk pribadi utama dan mengatur ketertiban hidup bersama dalam menuju hidup bahagia yang hakiki di dunia dan akhirat. Keempat, berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadah kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia. Kelima, perjuangan dan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat islam yang sebenar-benarnya hanya akan berhasil dengan mengikuti jejak (ittiba’) perjuangan para Nabi, terutama nabi Muhammad SAW. Keenam, perjuangan mewujudkan pikiran-pikiran tersebut hanya dapat dilaksanakan dengan berorganisasi. Ketujuh, pokok-pokok pikiran yang diterangkan dimuka bertujuan untuk terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Inilah yang kemudian melatarbelakangi segala aspek dakwah Muhammadiyah ditengah-tengah masyarakat melalui Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Kehadiran Amal Usaha Muhammadiyah
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) adalah ladang subur bagi orang-orang yang jauh dari spirit pokok-pokok pemikiran Muhammadiyah, olehnya ditujukan untuk memperkuat diri sendiri dalam aspek ekonomi, kekuasaan, dll. Bahkan menjadi satu keniscayaan praktek nepotisme menjadi jalan terobosan untuk mewujudkan cita-cita pribadi dan tidak dipungkiri bahwa praktek nepotisme juga akan menyeret praktek praktis-praktis lainnya seperti Kolusi dan Korupsi. Menjadikan kerabatnya sebagai pejabat disekitar untuk memperkuat posisinya. Membagi-bagikan kue kepada sekeliling supaya tidak ada yang mengancam kekuasaanya dan memutasi lawan politiknya supaya tidak menghambat praktek dinastinya dan apabila praktik nepotisme ini sudah mengakar rumput dalam tubuh AUM maka dapat hal ini juga yang akan menghambat perkembangan AUM tersebut dan bukan tidak mungkin apabila terus berkelanjutan dapat menenggelamkan AUM sepenuhnya dimana aspek Probitas, Veritas dan Justicia tidak dapat tumbuh berikut demokrasi yang akan tumpul kemudian juga menumpulkan prinsip Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar,yang dilakukan dengan tabsyi (menggembirakan), tadjid (pembaharuan), dan Islah (membangun). Di mana kebijakan akan mengarah dan hanya menguntungkan kepada individual atau kelompok kepentingan. Inilah yang dikhawatirkan Otonom terkhususnya penulis, selaku kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Reposisi Gerakan IMM Dalam Amal Usaha Muhammadiyah
Berbekal spirit QS. Al-Imran (3) : 7, QS. Al-Imran (3) : 190-191, QS. Al-Maidah (5): 100, QS. Al A’raf (7): 179, QS. Az Zumar (39): 18 dan QS. At Talaq (65) : 10, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berkomitmen menumbuhkan wacana intelektual dalam rangka menebar dakwah amar ma’ruf nahi munkar, IMM sebagai laboratorium perkaderan secara berkelanjutan melahirkan kader-kader potensial untuk menghidupkan obor-obor amar ma’aruf nahi munkar ditengah-tengah masyarakat, bertekad fastabiqul khairat peran IMM dalam Amal Usaha Muhammadiyah terkhususnya perguruan tinggi Muhammadiyah. Respon IMM atas persoalan-persoalan problematis dalam persoalan keummatan itu antara lain adalah sebagai berikut (Farid Fatoni, 1990:102): Pertama, situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia. Kedua, terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politik umat Islam yang semakin buruk.
Ketiga, terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis. Keempat, melemahnya kehidupan beragama dalam merosotnya akhlak dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme. Kelima, sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler. Keenam, masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Keenam, masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid’ah, khurafat, bahkan kesyirikan, serta semakin meningkatnya misionaris-kristenisasi. Ketujuh, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk.
Dengan spirit di atas dan juga dengan persoalan yang ada dikampus sedikitnya inilah yang melatarbelakangi reposisi gerakan IMM dalam Amal Usaha Muhammadiyah, peran IMM sebagai wadah perkaderan sangatlah strategis dengan berpegang pada nilai dasar ikatan pada point ke-3 yaitu segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM dan perlawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM. Dalam hal ini peran yang harus disumbangkan IMM terhadap amal usaha terkhususnya kampus Muhammadiyah sebagai basis pergerakan IMM yang mencerahkan, yaitu dengan aktif mengawal segala kebijakan yang dikeluarkan kampus, selain itu juga aktif dalam mengawasi adanya pergerakan di kampus dari tingkat mahasiswa sampai dengan Rektorat, kemudian juga IMM sebagai agent pencerahan juga tidak diperkenankan aktif ditengah arus politik kampus melainkan harus mampu membawa arus tersebut kejalan yang dicita-citakan Muhammadiyah.
Segala kemungkinan praktik nepotisme, kolusi dan korupsi dalam kampus adalah bentuk ketidakadilan yang harus diberikan perlawanan melalui gerakan-gerakan yang ma-ruf. Ketidakaktifan IMM dalam mengawal kebijakan dan juga kebutaan IMM dalam menganalisis sistematis struktural kampus juga mememungkinkan lahir nepotisme dalam kampus oleh pemilik kebijakan dalam kampus. Sebelum IMM berangkat jauh melangkah membuat perlawanan atas ketidakadilan, maka yang pertama harus dilakukan adalah menghidupkan madrasah-madrasah ilmu dengan aktif membaca buku dan membangun diskusi-diskusi di dalam kampus oleh kader IMM secara sistematis dengan pola yang terukur dan terarah. Dengan kegiatan IMM dalam penyemaian kader, maka diskusi-diskusi ini nantinya akan menghidupkan pemikiran yang kritis dan mendasar juga dengan kebiasaan ini akan menghidupkan karakter IMM yang sejalan dengan kepribadian IMM sendiri sebagaimana yang dikatakan oleh seorang filsuf dari skotlandia, David Hume Karakter adalah hasil dari sebuah sistem dan prinsip yang dibiasakan. Artinya sebelum kader IMM melangkah memproklamirkan satu dakwah amar ma’ruf nahi munkar, terlebih dahulu kader IMM mengenali warnanya sendiri dan juga mengisi jiwa serta pikirannya dengan nilai-nilai keilmuan yang kaffah. Lahirnya praktik nepotisme adalah sebagai bentuk lemahnya IMM dalam memproklamirkan prinsip ketaatan dan kebenaran juga lemah secara ilmu. Hal ini yang harus kita jadikan sebagai reposisi gerakan IMM ditengah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) agar kekhawatiran ini hanyalah sebatas khawatir akan terjadi bukan khawatir karna telah terjadi.
Editor: Renci