Oleh: Muhammad Habibi (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Lampung)
Penolakan laporan kepolisian Ketua DPP Setya Kita Pancasila Sandy Tumiwa atas kasus penghinaan wayang yang dilakukan Ustadz Khalid Basalamah menjadi viral beberapa saat yang lalu. Bareskrim Polri menolak laporan tersebut dengan alasan pelapor tidak memiliki legal standing dan kerugian bagi masyarakat secara luas. Sebagaimana dikutip dari berbagai media konvensional di Indonesia (18/2/22), laporan tersebut menurut Bareskrim Polri bukan masuk pada ranah pidana. Lantas, bagaimana baiknya masyarakat melihat pelaporan tersebut secara jernih?
Laporan Penghinaan Wayang Tidak Mengandung Substansi Pidana
Membahas mengenai hukum pidana, maka pembicaraannya sudah pasti akan mengarah kepada dua bentuk, yakni kejahatan dan pelanggaran jika merujuk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keduanya memiliki substansi yang berbeda, di mana kejahatan mengarah kepada bentuk perbuatan seseorang, baik disengaja (dolus) maupun kelalaian (culpa) yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain secara materiil. Sedangkan pelanggaran lebih mengarah kepada akibat formil dari suatu tindakan yang dilakukan seseorang.
Mengenai kasus pelaporan dugaan penghinaan wayang yang diucapkan Ustadz Khalid Basalamah di Masjid Blok M Jakarta Selatan empat tahun yang lalu sebenarnya secara objektif tidak terdapat unsur kejahatan maupun pelanggaran di dalamnya. Perkataannya dalam ceramah yang disampaikan lebih kepada pandangannya sebagai seorang ulama dan tidak mengarah kepada bentuk penghinaan tradisi wayang di Indonesia. Dirinya hanya menyampaikan jika ada suatu tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka hal tersebut harus ditinggalkan. Secara kebetulan semata ucapannya yang viral bersamaan dengan jawaban atas pertanyaan audiens yang menanyakan mengenai hukum wayang.
Pelaporan Lebih Mengarah Kepada Popularitas Pelapor
Terdapat dua sisi mata uang yang terlihat dalam pelaporan kasus dugaan penghinaan wayang yang tersebut. Pertama, unsur penegakan hukum (due process of law) yang dilakukan masyarakat terhadap adanya suatu tindakan yang diduga terdapat unsur pidana didalamnya, sehingga masyarakat melaporkan tindakan tersebut kepada kepolisian untuk dapat ditindak lanjuti. Kedua, unsur popularitas dimana dapat kita lihat bersama pelapor merupakan public figure yang memang sudah beberapa tahun kebelakang namanya merosot dari dunia entertainment Indonesia.
Kedua sisi mata uang tersebut apabila ditimbang manakah yang lebih dominan, unsur penegakan hukumkah atau justru hanya untuk menaikan popularitas pelapor semata? Penulis yang menggeluti dan mengenyam pendidikan hukum memandang pelaporan tersebut lebih mengarah kepada popularitas semata. Sejatinya, bagi seorang public figure popularitas adalah modal dasar untuk mendapatkan citra baik di mata publik. Mungkin, pelapor merasa jika laporan tersebut diterima dan dinaikan penyidik (polisi) sampai pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan, popularitasnya meningkat walaupun legal standing pelapor bukan sebagai artis, melainkan ketua lembaga swadaya masyarakat. Namun, unsur keartisan pelapor tidak bisa dihilangkan dimata publik.
Dengan adanya laporan atas dugaan penghinaan wayang tersebut, menurut penulis sebagai tren baru dalam unsur penegakan hukum di Indonesia. Istilah yang penulis ajukan yakni “tren popularitas penegakan hukum”, maknanya yakni melaporkan tindakan seseorang yang diduga terdapat unsur pidana didalamnya dijadikan suatu budaya baru untuk menaikan popularitas seseorang, tanpa menimbang terlebih dahulu pelaporan yang dilakukan secara objektif. Barangkali pelapor patut bersyukur karena hingga saat ini Ustadz Khalid Basalamah belum melakukan tindakan hukum balik terhadap pelapor atas aduan pencemaran nama baik. Namun, perlu kewaspadaan bagi pelapor karena bukan suatu kemushtahilan tindakan tersebut dapat dilakukan oleh Ustadz Khalid Basalamah dikemudian hari, ditambah dirinya sudah melakukan klarifikasi dan permohonan maaf di publik.
Editor: Renci