Oleh: Sugiarti
Saya adalah seorang guru yang di amanahi menjadi guru kelas satu di salah satu sekolah dasar. Menurut saya, menjadi guru kelas satu itu sebuah tantangan sekaligus kebahagiaan. Tantangan saya dapatkan tatkala Tuhan pertemukan dengan berbagai jenis karakter anak-anak dari latar belakang yang berbeda-beda tentunya. Kebahagiaan saya dapatkan tatkala menyaksikan capaian peningkatan perkembangan siswa saya di kelas.
Saya masih ingat, dulu ada seorang wali murid dari anak didik kami tercinta mengirim pesan whatsapp kepada salah satu guru rekan saya. Isinya tentang keberatan hatinya melihat sang buah hati harus melaksanakan piket kelas sepulang sekolah meskipun tugas itu tidak dilakukan setiap hari, merapikan meja, kursi, menggeser bahkan mengangkat kursi demi mudah membersikan sampah kertas berserakan atau mungkin serpihan bekas meruncing yang terjatuh di lantai di bawah bangku.
Lain cerita di lain masa, bahkan ada seorang ibu yang meminta sapu dari tangan si anak dan sang ibu menyelesaikan tugas piket putrinya itu, sedangkan putrinya hanya disuruh menunggu. Entah karena tak tega melihat anaknya menyapu kelas atau tak sabar menunggu anak keluar kelas. Everybody loves story, umumnya setiap orang suka cerita, karena dalam aktivitas sehari-hari akan selalu ada cerita untuk didengar maupun kejadian untuk diceritakan. Saya senang sekali jika mendengar cerita dari anak-anak tentang kegiatan mereka di rumah maupun masalah-masalah pertemanan mereka di sekolah. Tak jarang kerapkali jadi tempat curhatan anak-anak.
Menurut saya, level kelas satu sekolah dasar adalah bangku kelas masa transisi anak-anak dari yang biasa selalu dilayani menjadi harus belajar mandiri. Di level kelas ini, anak harus bisa mulai belajar menyiapkan keperluan sekolah sendiri, seperti menyiapkan buku-buku sesuai jadwal pelajaran, memilih dan memakaikan seragam untuk dirinya sendiri, belajar memakai kaos kaki, memakai sepatu, serta mulai belajar peduli dengan barang-barang kepemilikannya sendiri. Tentunya tetap dengan bimbingan dan arahan di masa-masa awal.
Belajar mandiri tentu bukan hal yang mudah bagi anak-anak. Mereka butuh dukungan dan banjir pujian ketika beberapa tugas-tugas kemandirian terselesaiakan tanpa rengekan atau keluhan. Realita bahwa beberapa orangtua banyak merasa tak tega hingga anak kelewat manja sering juga saya temui. Padahal pembentukan kemandirian sangat baik untuk di mulai di usia dini. Anak dengan kepribadian mandiri bisa menjadi anak yang lebih percaya diri, dalam banyak kondisi dan situasi. Menurut saya, anak yang tumbuh tanpa pembentukan kemandirian akibat kelewat dimanjakan akan memiliki kuantitas problem yang lebih banyak daripada mereka yang sudah dibiasakan mandiri. Umumnya, anak yang belum terbiasa mandiri, ia akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi sebab kurangnya rasa percaya diri. Kebiasaan bergantung kepada orang lain akan menghambat daya juang mereka dalam menghadapi tantangan-tantangan yang harusnya mereka selesaikan. Anak jadi gampang menyerah. Lebih mudah pasrah. Menyatakan kalah sebelum berupaya dengan banyak ulah.
Pendidikan Karakter Merubah Ranah
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya memajukan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter) serta pikiran (intelek). Manusia memiliki peradaban karena pendidikan. Pendidikan merubah ranah tidak hanya kognitif, namun juga afektif. Kemampuan olah rasa seorang anak, seperti rasa mampu mengerjakan banyak hal sendiri atau belajar mandiri, perlu banyak latihan dan banyak arahan di awal pembentukannya. Setelah anak mendapat banyak arahan dan pengetahuan untuk bisa sendiri melakukan banyak hal, lalu mereka belajar mengurangi ketergantungan akan sebuah bantuan, maka disitulah pendidikan telah merubah ranah. Pendidikan karakter adalah usaha sadar manusia untuk membangun karakter kepribadian yang luhur (mulia) sehingga menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Perpres Nomor 87 tahun 2017 mengusung 18 jenis karakter yang harus dimiliki bangsa Indonesia. 18 jenis karakter tersebuat adalah religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab. Pemerintah sudah sangat bijaksana dengan membuat perancangan melalui pendidikan berbagai karakter.
Fungsi Pendidikan Karakter
Fungsi pendidikan karakter tentu mengandung esensi yang bermutu. Pendidikan karakter berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar dalam diri manusia sehingga menjadi individu yang berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik. Pendidikan karakter juga berfungsi untuk membangun dan memperkuat perilaku masyarakat yang multikultur. Bayangkan ketika anak-anak kita tidak diajari tentang toleransi misalnya, berbagai suku dan adat istiadat serta agama ada di Indonesia, jelas akan terjadi kontras (memperlihatkan perbedaan yang nyata apabila diperbandingkan). Jika toleransi dimiliki, anak-anak kita akan saling menyayangi dan tidak saling mendiskriminasi.
Bayangkan ketika anak-anak kita tidak diajari mandiri misalnya, berbagai kegiatan atau suatu urusan bertambah semakin komplek sesuai tumbuh kembang sang anak, lalu apakah selalu ada tangan orang lain untuk menyelesaikannya? Ada asisten rumah tangga bagi kalangan orang berada dan super sibuk, dan bagi sebagian yang lain, tentu hanya ada oarangtua saja. Bangun pagi, makan sarapan, menyikat gigi, mandi, berpakaian, mengatur pekerjaan sekolah, memasukkan bekal makan siang dan banyak lagi, adalah contoh aktivitas yang setidaknya bisa dilakukan anak sendiri. Ketika anak-anak bisa mandiri, itu bisa membuat pekerjaan orangtua di rumah menjadi lebih mudah. Mandiri juga melatih kedewasaan sang anak. Hal tersebut dikarenakan pembentukan kebiasaan tanpa bantuan.
Pentingnya Pendidikan Kemandirian Sejak Dini
Pendidikan karakter seperti kemandirian seharusnya dilakukan sejak dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Pendidikan ini bisa dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Sebagai orangtua, mengajarkan keterampilan hidup dan kegiatan sehari-hari kepada anak-anak bisa jadi pekerjaan yang tidak mudah. Saat orangtua menjadi sibuk mengurus pekerjaan, di sini pentingnya anak untuk bisa menjadi mandiri. Mendidik anak untuk menjadi mandiri diperlukan agar kelak tidak selalu merepotkan orangtua, dan ini juga penting untuk mempersiapkan mereka menuju pendewasaan.
Tips Ajari si Buah Hati Jadi Mandiri
Orangtua tentu akan merasa bahagia ketika sang buah hati tumbuh jadi pribadi mandiri. Kemandirian mengurangi kerepotan. Kemandirian melatih kedewasaan. Kemandirian juga melatih jiwa ketangguhan. Berikut ini beberapa cara yang dapat dilakukan agar si buah hati belajar mandiri. Pertama, beri anak tanggung jawab yang dapat ia tangani. Anak tidak perlu mulai bisa memasak untuk keluarga, atau memperbaiki saluran air yang mampet, atau naik atap memperbaiki genting bocor. Kemandirian perlu dimulai dari urusan-urusannya sendiri di rumah. Misalnya, saat keluarga berencana untuk pergi liburan ke suatu tempat atau hanya pergi mengunjungi dan menginap di rumah nenek, berikan anak tugas-tugas sederhana seperti memakai kaos kaki dan sepatu sendiri, mengemas tasnya sendiri, dan menjinjing tasnya sendiri kedalam mobil. Saat di sekolah, anak dibagi tugas kebersihan kelas, sesuai jadwal piket per pekan bersama teman-teman. Di masa awal anak melaksanakan tugas piket, guru boleh memberi arahan serta bantuan untuk menyelesaikan, namun untuk seterusnya biarkan anak menyelesaikan tanggung jawab kecilnya. Sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan sendiri. Jika di rumah mereka tidak pernah pegang sapu untuk membantu ibu menyapu, maka biarlah di sekolah mereka diajari untuk itu. Biarkan anak merapikan alat tulisnya sendiri selesai belajar. Biarkan anak membenahi sepatunya sendiri meski kurang rapi.
Kedua, hindari menyelesaikan pekerjaan anak. Banyak orangtua bingung bagaimana cara membimbing anak dari belum bisa mengerjakan sesuatu hingga menjadi bisa menyelesaikannya, sehingga tanpa sadar mereka akan campur tangan. Pada usia dini, ajarkan beberapa hal yang bisa membuat pekerjaan anak lebih mudah. Sementara saat anak tumbuh semakin besar atau dewasa, biarkan dia mendatangi orangtua sendiri jika dia membutuhkan bantuan. Sedikit-sedikit memberikan bantuan hanya akan menumbuhkan ketergantuan akan bantuan. Ketiga, biarkan anak membuat keputusan sendiri. Memberikan kebebasan akan pengambilan keputusan terkadang diperlukan. Biarkan anak membuat keputusan sendiri dan memahami konsekuensi. Misalnya, saat di rumah, orangtua memiliki aturan untuk anak tidur siang, belajar, lalu bolehlah bermain. Namun tatkala anak jenuh lalu mereka memutuskan untuk tidur siang, lalu bangun dan bermain terlebih dahulu, setelah merasa senang barulah belajar atau mengerjakan PR, saya rasa tidak perlu dipermasalahkan. Selama anak tetap dalam koridor aturan, kita sebagai orangtua sebaiknya memiliki kebijaksanaan. Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar memutuskan sesuatu sendiri, perlahan akan mengajari mereka mandiri. Mereka juga merasa lebih dihargai karena tidak selalu dalam paksaan. Itu akan mengajari mereka bersikap lebih dewasa.
Keempat, beri empati dan dukungan, bukan ejekan. Saat anak baru dibimbing belajar mandiri, tentu bukanlah hal yang mudah baginya. Hindari memaki atau membuatnya terpuruk, bahkan jika mereka gagal melakukan sesuatu yang cukup sederhana di mata kita sebagai orangtua. Dukung anak dan bantu saat mereka memintanya, tanpa menghakiminya.
Sebaliknya, ketika anak melakukan hal-hal yang dia janjikan dengan cara yang benar sendirian, jangan ragu untuk mengatakan kepadanya betapa bangga dan bahagianya kita melihat hal ini. Umpan balik positif sangat penting dalam membentuk kepribadian anak dengan cara yang benar dan validasi orang tua sangat membantu dalam hal ini. Jangan gengsi untuk memuji sang buah hati.
Kelima, bijak dalam menyikapi kegagalan. Anak-anak biasanya mengalami kegagalan saat melakukan hal-hal pertama kali. Mereka akan melakukan kesalahan dan mereka bahkan mungkin mengulanginya meskipun kita telah memperingatinya. Hindari fokus pada kegagalan dan biarkan anak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk lebih baik. Jangan menghakimi kegagalan, namun beritahu apa yang sebaiknya dilakukan. Keenam, ajarkan dan biasakan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Baik itu masalah terkait sekolah atau masalah apa pun yang mungkin ia miliki dengan saudara atau teman, beri tahu anak bahwa masalah tertentu harus diselesaikan olehnya. Orangtua tetap bisa memberikan bimbingan jika diperlukan , namun hindari untuk selalu campur tangan.
Ketujuh, ceritakan kisah para suri tauladan. Pendidikan karakter sudah dimulai sejak zaman para nabi dan rasul. Menyisihkan sedikit waktu untuk menceritakan suatu kisah para suri tauladan suatu zaman dapat dilakukan sebagai upaya mensukseskan pendidikan karakter. Misalnya, berkisah tentang masa kecil Rasulullah SAW tanpa ayah dan ibundanya, berkisah tentang Abdurrahman bin Auf seorang saudagar/ pedagang sukses yang banyak akal, dll. Guru dan orangtua dapat memilih kisah-kisah tauladan yang ada kaitannya dengan kemandirian. Menurut saya, terlalu memanjakan anak atau meminta seorang pengasuh untuk selalu menyiapkan semua kebutuhan anak tidak mengajarkan anak keterampilan hidup yang dibutuhkan saat ia dewasa nanti. Agar tumbuh dengan baik, mereka membutuhkan orangtua mereka untuk mengajarkan kemandirian. Pembentukan kemandirian tidak seperti menyajikan mi instan. Membentuk kemandirian butuh waktu dan kesabaran. Keberhasilan pembentukan kemandirian juga butuh kebijaksanaan guru dan orangtua dalam berperan. Terkadang, harus melawan rasa ketidak tegaan. Bagaimana mungkin pembentukan kemandirian berhasil diupayakan jika ketidak tegaan dibesar-besarkan. Anak kelewat dimanjakan hingga tumbuh tanpa kemandirian.
Editor: Renci
Makasih Bu guru.. insyaAllah mjd bekal kami para guru disekolah baru aamin.. suksesss