Oleh: Salman Rifqi Saputra
Sebenarnya dalam menulis artikel ini, saya sendiri agak bingung akan memulainya dari mana, sebab mana mungkin seorang murid saling memberi nilai raport satu sama lain. Tapi saya ingin coba memulainya dari melerai terlebih dahulu pertikaian antara pikiran dan perasaan saya dengan mendefinisikan makna yang tertulis sebagai judul dari artikel ini. Dari segi semantic, aktivis memiliki arti individu atau kelompok yang menggerakkan organisasi kegiatannya.
Dalam hal ini, dapat kita pahami bahwa aktivis tidak berbatas usia, gender ataupun strata sosial. Ia yang memiliki visi misi untuk menggerakkan masyarakat misalnya, sangat bisa dikatakan sebagai aktivis. Terlebih anak muda yang sedang sibuk mencari jati dirinya dengan mengikuti pelbagai kegiatan di sekolah atau kampusnya. Sedang ciamik sendiri menurut KBBI bermakna bagus. Untuk sampai pada pemaknaan bagaimana menjadi aktivis yang ciamik tentu sebaiknya kita harus mengerti betul apa esensi-aktualisasi dari menjadi seorang aktivis.
Seseorang dalam menjalankan perannya di organisasi atau kelompok tentu memiliki motivasi yang sangat beragam. Hal ini tidak serta merta boleh disalahkan, sebab ‘becoming’ nya pun sangat berbeda antara individu satu dengan individu yang lainnya. Mungkin yang bisa diselaraskan hanya apa yang menjadi visi misi dan tujuan organisasi yang ingin dicapai.
Pada aras yang lain acapkali terjadi distorsi fungsi dalam diri aktivis. Banyak yang tidak bisa menyeimbangkan antara aktivitas organisatoris dan akademis. Sehingga aktivis yang sudah keblinger dengan kegiatan rutinitasnya; bertemu pejabat, interaksi dengan kaum elit dan lain sebagainya untuk dunia akademisnya perlahan akan tereliminasi dari ruang berpikirnya dan kemudian terbengkalai. Hal ini menjadi satu autokritik bagi diri sendiri dan juga sebagai alarm sinyal darurat intelektual bagi aktivis yang sedang menggeluti dunia organisasinya. Yang perlu diinsyafi adalah bagaimana seorang aktivis mampu menyelesaikan persoalan individunya sendiri untuk lebih memantapkan perannya sebagai aktivis, tak ayal bahwa ini jarang dilakukan.
Selain harus selesai dengan urusan pribadinya seperti manajemen diri, finansial, izin keluarga, seorang aktivis yang keren juga harus mengasah dimensi intelektualnya. Jangan-jangan setelah mengikuti kegiatan perkaderan sampai menjadi alumni organisasi kita hanya menjadi senior yang kopong secara spiritual, akademis, intelektual dan juga ekonomi. Tidak sedikit saat sibuk berorganisasi, kegiatannya hanya digunakan sebagai pelarian dari ruwetnya percaturan dunia akademiknya, sebab malu karena belum selesai tugas akhirnya. Banyak juga yang sudah berproses tapi karena tidak digunakan untuk memaksimalkan potensi diri dan membuka jejaring setelah selesai ya sudah hanya sekedar menyelesaikan amanahnya karena namanya sudah terlanjur dicantumkan dalam SK. Oleh karena masing-masing dari kita memiliki perbedaan latar belakang dalam berorganisasi, proses dalam kaderisasi semestinya bisa mengarah kepada hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas diri dari individu-individu tersebut. Maka inklusifitas dan saling support dalam berorganisasi menjadi hal yang juga penting diperhatikan. Sehingga diharapkan ketika sudah selesai dan menjadi alumni dari suatu organisasi bukan malah menjadi post pemberhentian terakhir, melainkan menjadi titik awal untuk mengaktualisasikan nilai-nilai apa yang sudah didapat di organisasi untuk kemudian dikembangkan di masyarakat luas.
Editor: Renci