Oleh: Mukhtar Hadi (Dosen Institut Agama Islam Negeri Metro)
Sumpah!, baru tahu ada suatu penyakit aneh, namanya Gelotofobia. Tahunya dari tulisan Goenawan Mohamad di rubrik Catatan Pinggir majalah Tempo yang sangat fenomenal itu. Dimuat di majalah Tempo edisi 9-15 Mei 2022. Gelotofobia adalah sejenis penyakit fobia yang tidak jauh berbeda dengan jenis fobia lainnya. Kita mungkin sering mendengar ada orang yang fobia (punya rasa takut) dengan ketinggian, fobia dengan badut, fobia dengan kecoa, fobia dengan darah, dan lain sebagainya. Namun gelotofobia memang penyakit aneh, yaitu penyakit dimana seseorang takut dengan suara orang tertawa. Aneh, kan?
Dalam situs IDN-Times.Com/Science/Discover, dijelaskan bahwa gejala umum yang dimiliki oleh seorang gelotofobia yaitu mereka membenci suara tawa. Penyebab mereka membenci suara tawa ialah mereka takut untuk ditertawakan. Menurut mereka, suara tawa yang didengar ditujukan kepada mereka. Menganggap suara tawa tersebut bukan merupakan ungkapan senang, melainkan ungkapan ejekan kepada mereka. Menurut situs ini, para penderita gelotofobia memiliki permasalahan pada emosinya. Para penderitanya tidak bisa membedakan yang mana tertawa tulus dan yang mana tertawa jahat. Mereka juga tidak akan mempercayai tertawa siapapun dan menganggap semua tertawa itu ditujukan untuk mengejek mereka. Akibatnya setiap mendengar seseorang tertawa, mereka akan marah, gemetar, stress, hingga sakit kepala.
Salah satu penyebab utama mengapa seseorang bisa menderita gelotofobia ialah karena pengalaman terintimidasi, baik pada masa kecil atau ketika remaja. Mereka mengalami intimidasi seperti terlalu sering diejek hingga ditertawakan dan dibully. Kita perlu berhati-hati, karena berdasarkan hasil penelitian tahun 2008 yang dilakukan para peneliti dari University of Granada dan University of Zurich terhadap gelotofobia ditemukan fakta bahwa kasus gelotofobia banyak ditemukan di negara-negara Asia seperti di Turkmenistan, Kamboja, dan Thailand. Indonesia tidak disebut, bukan berarti kasusnya tidak ada.
Pada tingkat yang ringan, penyakit takut mendengar suara orang tertawa sesungguhnya sering kita lihat dan boleh jadi kita sendiri mengalami. Pengalaman-pengalaman berikut ini mungkin pernah dirasakan. Seorang guru yang sangat dikenal “killer” oleh murid-muridnya, marah dan merasa direndahkan ketika ada salah seorang muridnya tertawa cekikikan atau muridnya sekedar senyum-senyum saja. Padahal tawa dan senyum muridnya itu belum tentu mentertawakan dirinya. Mungkin tertawa atau tersenyum dalam konteks lain. Namun si guru sudah terlanjur under estimate dan berprasangka bahwa muridnya telah mentertawakan dirinya. Sebagai reaksinya, ia marah sejadi-jadinya, semua murid dihukumnya. Guru-guru seperti ini biasanya memiliki kemampuan yang sangat terbatas sehingga untuk menutupi kekurangannya ia menjadi sangat sensitif.
Dalam kepemimpinan seringkali juga terjadi demikian. Ada seorang pemimpin atau manajer yang lebih condong menunjukkan ego keakuannya. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin puncak, semua kata-katanya harus diikuti, tidak boleh sedikitpun ada yang berbeda dengan dirinya. Kata orang, gaya kepemimpinan seperti ini disebut otoriter absolut. Pada hal-hal tertentu, pemimpin seperti ini sangat sensitif, mudah tersulut emosinya. Sampai-sampai mendengar anak buahnya tertawa saja ia sudah curiga. Jangan-jangan meledek dirinya, menghina atau menganggap dirinya tidak becus memimpin. Padahal tawa dan senyum bawahannya sebenarnya tulus atau tertawa biasa sebagai respon terhadap hal-hal lucu yang ada di sekitar. Kalau ada yang punya pemimpin seperti ini, maka anda dilarang tertawa.
Masih ingat. Sepuluh tahun yang lalu, Presiden Korea Utara, Kim Jong Un, melarang rakyatnya tertawa sampai 11 hari, untuk memperingati 10 tahun wafatnya sang ayah, diktator Kim Jong II. Polisi dikerahkan buat mencatat siapa yang mukanya tampak sedih. Termasuk mencatat siapa saja yang menunjukkan ekspresi kebahagiaan.Tidak hanya dilarang tertawa, warga Korea Utara bahkan dilarang berbelanja bahan makanan selama 11 hari berkabung tersebut. Diri kita sendiri terkadang mengalami kondisi sangat sensitif terhadap tawa dan kebahagiaan orang lain. Setiap ada orang tertawa di dekat kita, terasa mengintimidasi, menertawakan keadaan dan nasib kita. Akhirnya kita menjadi orang yang pemarah, mudah stress dan tersinggung. Biasanya orang mengalami kondisi ini ketika sedang bertumpuk masalah atau ketika banyak mengalami kegagalan. Suara tawa orang terdengar sangat menyakitkan. Seperti sedang memalu-malukan nasib kita. Jika anda dalam kondisi seperti ini, perbanyaklah syukur dan sabar, tidak pernah berhenti untuk berikhtiar, serta tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Jika satu sisi ada orang yang takut dengan suara tawa, ada orang yang sangat ingin mendengar suara orang tertawa. Mereka justru tertekan, stress dan keluar keringat dingin kalau tidak ada yang tertawa. Atau ada yang tertawa namun tertawanya garing dan dipaksakan. Mereka adalah para komedian yang sedang manggung, sangat takut dan khawatir kalau tidak lucu dan tidak bisa membuat orang tertawa. Kalau begitu enak yang mana, dilarang tertawa atau diminta tertawa?
Editor: Renci