Oleh: Mukhtar Hadi
Berapa lama orang menghabiskan waktunya untuk mengakses sosial media? Ini faktanya. Berdasarkan laporan dari perusahaan media asal Inggris, We Are Social bekerjasama dengan Hootsuite dengan judul “Digital 2021: The Latest insights Inti the State of Digital” yang dirilis pada 11 Februari 2021. Laporan ini mengenai pola pemakaian media sosial di sejumlah negara termasuk di Indonesia. Menurut laporan tersebut, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam empat belas menit sehari untuk mengakses sosial media. Dari total populasi Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai kurang lebih 170 juta. Artinya, jumlah pengguna media sosial Indonesia setara dengan 61,8% dari total populasi pada Januari 2021. Nama Indonesia sendiri tercatat dalam daftar 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Posisi Indonesia berada di peringkat Sembilan dari 47 negara yang dianalisis.
Penggunaan waktu tiga jam empat belas menit hanya untuk mengakses sosial media merupakan sebuah revolusi dalam penggunaan waktu hidup yang di era sebelum menjamunya era sosial media digunakan untuk kegiatan yang lainnya. Dewasa ini orang harus menggerus waktu tidurnya atau waktu kerjanya atau waktu belajarnya untuk penggunaan sosial media. Bisa jadi ada waktu-waktu yang sangat produktif hilang karena digunakan untuk mengakses sosial media. Pada tingkat tertentu, maka penggunaan sosial media bisa menjadi toksid (toxic) bagi penggunanya. Penggunaan sosial media yang berlebihan sehingga sampai pada tingkat kecanduan tentu akan sangat berbahaya bagi yang besangkutan dan bagi masyarakat luas.
Beberapa penelitian tentang sosial media menemukan hubungan antara sosial media dengan dampak negatif seperti peningkatan depresi, kecemasan, kesepian, menyakiti diri sendiri, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Saat ini, kebanyakan orang mengakses media sosial melalui gawai. Sosial media menyediakan kenyamanan dalam hal berhubungan antar manusia, dan juga berarti sosial media akan selalu dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Konektivitas yang hiper sepanjang waktu ini dapat memicu masalah kontrol impuls, peringatan dan pemberitahuan konstan yang dapat mempengaruhi konsentrasi dan fokus, mengganggu kualitas tidur dan membuat anda menjadi budak ponsel. Orang menjadi sangat tergantung dan kecanduan smartphone. Ponsel seperti bagian dari tubuh, sehingga kalau hilang atau ketinggalan kita merasa seperti ada bagian tubuh kita yang hilang.
Mengutip dari https//m.merdeka.com, platform sosial media dirancang untuk menarik perhatian, membuat anda tetap online dan membujuk anda agar berulang kali memeriksa layar dengan notifikasi-notifikasinya. Namun sama seperti keterpaksaan judi atau kecanduan nikotin, alkohol, atau obat-obatan, penggunaan sosial media dapat menciptakan keinginan psikologis. Saat seseorang menerima reaksi positif terhadap postingan yang diunggah, hal itu dapat memicu pelepasan dopamine di otak, zat kimia yang memberikan sensasi kesenangan. Jika hal tersebut dibiarkan berlarut ternyata dapat berbahaya bagi kesehatan mental. Karena pada akhirnya orang akan menggantungkan banyak aspek dalam dirinya terhadap penilaian sosial media yang semu dan gampang berubah-ubah.
Gejala FOMO dan Selalu Merasa Kurang
Fear of Missing Out (FOMO)adalah fenomena di mana seseorang merasa takut ketinggalan berbagai hal yang viral atau popular yang sedang jadi trend di sosial media. Fenomena ini sebenarnya sudah lama berkembang, bahkan sebelum merebaknya sosial media. Namun, dewasa ini sosial media membuat fenomena FOMO menjadi lebih akut dan berbahaya. Pemikiran bahwa seseorang melewatkan hal-hal tertentu, terutama yang sedang ramai dibicarakan orang atau sedang viral, dapat mempengaruhi harga diri, memicu kecemasan dan memicu penggunanaan sosial media yang lebih besar. Kondisi ini bisa memicu orang untuk memeriksa gadget setiap beberapa menit sekali. Ada keinginan yang kuat untuk memeriksa terus menerus dan melihat pembaruan yang terjadi.
Dampak lainnya dari sosial media adalah timbulnya perasaan bahwa diri atau hidup anda selalu kurang jika dibandingkan dengan orang lain di sosial media. Meskipun orang sadar bahwa unggahan-unggahan yang bertebaran di platform sosial media sebagian besar adalah hasil manipulasi, tetap saja akan ada perasaan tidak aman di dalam diri. Seseorang mungkin merasa tidak cukup cantik, tidak cukup bergaya, atau tidak cukup menikmati hidup berdasarkan apa-apa yang ditampilkan orang. Dengan melihat unggahan-unggahan orang di sosial media, seseorang bisa saja merasa tidak sebahagia orang lain, tidak seberuntung orang lain bahkan mungkin saja tidak sereligius orang lain. Semua itu menimbulkan kecemasan dalam hidup, walaupun sebenarnya juga sadar bahwa apa yang diunggah oleh orang lain itu merupakan hal-hal yang penting dan jarang terjadi dalam hidupnya.
Tidak elok rasanya jika menyalahkan sosial media secara membabi buta. Faktanya, sosial media juga membuat hidup kita menjadi lebih mudah dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Banyak orang terbantu ekonominya dengan sarana sosial media karena dewasa ini telah menjadi bagian penting dari kegiatan ekonomi yang disebut dengan ekonomi digital. Sosial media juga telah banyak membantu kegiatan belajar, sumber ilmu serta sarana penyebaran ilmu pengatahuan dan teknologi. Segala hal dalam hidup selalu ada kutub positif dan negatifnya. Sikap yang bijak adalah mengambil sebanyak-banyaknya sisi positifnya dan mengurangi atau kalau bisa menghilangkan sama sekali sisi negatifnya. Tidak mudah, tetapi harus dilakukan untuk kehidupan yang lebih baik dan kebermanfaatan dalam hidup. Kesadaran akan bahaya penggunan sosial media yang berlebihan dewasa ini mulai disadari oleh banyak orang. Beberapa orang mulai mengkampanyekan untuk mengurangi durasi penggunaan media sosial. Sebagian mengajak ‘puasa’ sosial media. Jika dirasa penggunaan sosial media itu sudah sangat akut dan menjadi candu, mereka mengajak untuk detoksifikasi sosial media. Bukan untuk meninggalkan sama sekali, tetapi mengarahkannya pada hal-hal yang lebih produktif seperti olah raga, peningkatan kualitas tidur untuk kesehatan tubuh, silaturahmi, berkumpul dengan keluarga, membaca atau menulis bagi yang memiliki minat di bidang ini.
Editor: Renci