Oleh: Dwi Arianto
Tulisan ini lahir karena keheranan saya melihat generasi millenial yang lucu. Saya merasa lucu ketika harus melihat generasi millenialyang disibukan dengan hal yang unik. Unik di sini dapat kita artikan bahwa ternyata di dalam jiwa generasi sekarang ini ada yang aneh. Misalnya ketika kita melihat generasi sekarang ‘No Gadget No Life’. Bagaimana kesibukan itu sangat sulit dihilangkan, bahkan ngumpul bareng saja seperti hidup sendiri di tengah hutan yang sama sekali tidak ada penghuninya, seperti hanya ada suara jangkrik yang berirama “kacang panjang, kacang rebus, kacang goreng” kenapa? Karena ketika kita ajak mereka ngobrol justru dicuekin, sedih sih seandainya kalian di kacangin. Bahkan masih banyak lagi tingkah anak millenial sekarang yang kita anggap lucu.
Disamping itu ternyata harus ada yang kita pertanyakan, mengapa masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kecerdasan kita masih tertinggal? Apa gara-gara kita dijuluki sebagai generasi micin. Kalau menurut saya generasi millenial itu seharusnya mampu menguasai dunia, dengan perkembangan teknologi informasi misalnya, gawai digunakan sebaik mungkin untuk membaca, mencari informasi yang bermanfaat, dan yang lainya. Bukan malah kita yang dikuasai dunia. Hal ini terjadi karena kita kurang memposisikan akal sebaik mungkin, terutama generasi millenial muslim. Harus mengetahui hakikat akal sebagai perubahan peradaban manusia. Jangan sampai diperdaya oleh keburukan yang bersifat tabu. Hal ini yang akan kita bahas, yang dibahas bukan generasi millenialnya, akan tetapi penggunaan akal pada generasi millenial. Oleh karenanya perlu kiranya kita bahas terkait akal menurut ulama dan cendekiawan muslim.
Konsep akal menurut Muhammad Abduh
Muhammad Abduh telah meyakini bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan sesudah intuisi (qalbu) dan wahyu. Dengan lirikan kreasinya, akal harus memainkan pergulatan yang sangat penting dalam menghadapi dua kecenderungan pandangan dominan yang sama-sama ekstriem, baik yang tekstual (as-Salafiyah al-harfiyah) ataupun gaya berpikir materealisme Barat (al-madiyah al-Wad’iyah al-Gharbiyah). Kelompok yang pertama itu lebih cenderung menegasikan akal dari posisi sebagai jalan kebenaran dan mengingkarai kemampuanya. Kalangan tekstualis ini merasa cukup jika hanya berdiri di pendopo atau gapura sebuah teks dan dzohir bentuk nash tanpa harus berpikir apa yang dimaksud dan yang tersirat di dalam teks tersebut. Seperti ini biasanya cara berfikir para ahli hadis. Sedangkan pandangan yang kedua cenderung keblabasan dalam meletakan akal. Akal itu bebas mau bergerak kemanapun, walaupun itu dalam perkara suprarasional. Tidak ada otoritas lain kecuali akal, bahkan wahyu sekalipun itu.
Secara maksimal Muhammad Abduh berusaha untuk memposisikan akal sesuai proporsi. Ia mengeluarkan term baru, yaitu “Rasionalitas yang Islami” (al-Aqlaniyah al-Islamiyah) melawan sikap anti akal atau skeptis yang berlebih-lebihan bahkan mendewakan akal (Muhammad Imarah: 2005: 1554).
Muhammad Abduh memandang bahwa Barat adalah kumpulan kebaikan juga keburukan. Banyak sekali yang bertentangan dengan Islam dan banyak juga yang menyokong kepada Islam. Pada satu kesempatan Abduh pernah berdialog dengan filsuf Inggris, Spencer terkait kemajuan Barat. “Saya mulai putus asa melihat masa depan Barat dikarenakan mereka terjebak ke dalam jurang materialisme”. Sependapat dengan Farh Anthon, Muhammad Abduh hendak mengukuhkan peran akal di dalam kehidupan manusia. Ia sangat yakin bahwa akal manusia memang “penguasa yang punya limit” (as-Shulthan an-Niha’iyah), dimana realitas harus tunduk kepadanya dan sebuah batu pijakan fundemental disetiap peraturan di mana akal menempati posisi neraca yang mempu menilai segala macam persoalan dengan adanya catatan bahwa “gerak bebas” akal ini harus bernafas dalam lingkungan yang merdeka.
Konsep akal menurut Muhammad Abid al-Jabiri
Akal adalah elemen terpenting dalam pembangunan peradaban manusia. Konsep akal dalam pandangan al-Jabiri sangat erat kaitanya dengan ilmu pengetahuan yang menjadi ciri atau citra peradaban umat manusia. Kaitan hal ini, penyebutan akal atau nalar (al-Nazhr) dalam teori Hassan Hanafi tiada lain adalah untuk memperoleh pengetahuan. Maka, akal dalam pandangan al-Jabiri lebih identik dengan sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam titik ini sebenarnya al-Jabiri ingin mengungkapkan bahwa kemajuan umat Islam harus dimulai dengan mengelaborasi penggunaan akalnya sendiri, yang dimaksud adalah pengetahuanya, sehingga dengan ilmu pengetahuan ini umat Islam mampu pentas di atas panggung peradaban. Penggunaan kata “aql”, dalam konsep al-Jabiri digunakan dalam penggalihan bahasa dan pemikiran sebagai instrumen untuk menghasilkan suatu pemikiran (al-fikr ka’adah li intaj al-fikr), dan kumpulan pemikiran itu sendiri (al-fikr biwasfihi al-afkar dzatuha). Dengan demikian dapat dijelaskan kembali bahwa pemikiran adalah sebuah pandangan atau pemikiran yang denganya masyarakat mampu mengungkapkan concers-nya. Adapun pengertian akal sebagai pengetahuan berdasarkan pada pembedaan yang dibuat oleh para filsuf klasik ketika mendifinisikan akal sebagai kemampuan untuk mengetahuai (al-quwwah al-mudzrikah). Dalam hal ini al-Jabiri menulis: “Para filsuf klasik membedakan antara aql (akal) dan ma’qulat (logis). Mereka mendefinisikan akal untuk mengetahui sesuatu, sedangkan yang dimaksud dengan ma’qulat adalah suatu ama’na-ma’na yang diketahui”.
Editor: Renci