Hasbullah
(Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu Tim Instruktur MPK PWM Lampung)
Amal Usaha Muhammadiyah adalah satu usaha dan media dakwah persyarikatan untuk mencapai dan mewujudkan maksud dan tujuan persyarikatan, yakni “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (AD Pasal. 6). Oleh karenanya semua bentuk kegiatan amal usaha Muhamamdiyah harus mengarah kepada keterlaksanaan maksud dan tujuan persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk melaksanakan misi utama Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya sebagai misi dakwah. (PHIWM, h. 26).
Lembaga pendidikan milik Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, dari taman kanan-kanak sampai perguruan tinggi adalah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Karena di dalam AUM ada tarikan nafas perkaderan, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah bukan hanya sekedar mentransfer kecerdasan secara intelektual maupun kebaikan perilaku. Jauh dari itu AUM merupakan wadah internalisasi dari nilai-nilai pemikiran dan gerakan KH. Ahmad Dahlan. Nilai itu adalah nilai gerakan dakwah Islam amar ma’aruf nahi munkar dan menghidupakan gerakan tajdid dan tajrid dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan yang dijalankan oleh Muhammadiyah, bukan pendidikan yang berhenti dan berbangga dengan angka-angka serta pujian kualitas kelembagaan dan hasil lulusan. Namun pendidikan Muhammadiyah adalah lembaga yang menjadikan manusia cerdas secara holistik untuk mewujudkan manusia seutuhnya (insan kamil). Tafsir lain, bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah tempat perkaderan untuk menyiapkan generasi Islam, umat dan terutama persyarikatan. Lebih dari itu lulusan AUM dapat menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna dari pemikiran dan gerakan Muhammadiyah. Salah satu tempat perkaderan adalah amal usaha Muhammadiyan (Sekolah dan Perguruan Tinggi).
Keberadaan AUM, dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi, adalah tempat untuk pembinaan pemahaman keIslaman dan kemuhammadiyahan. Sehingga AUM itu sendiri harus dipimpin dan diisi oleh kader Muhammadiyah atau orang-orang yang siap untuk mengikuti perkaderan Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah, baik itu kader sturuktural, kultural dan kader biologis harus bersiap untuk mengisi dan bersinergi dengan AUM terutama lembaga pendidikan. Jangan sampai terjadi, tiba-tiba hadir di AUM dan mengatakan dirinya kader Muhammadiyah, tapi secara kualitas diri tidak memiliki kepantasan untuk berada di AUM.
Maka sangat ironi, jika AUM tidak menghidupkan proses perkaderan sebagai salah satu amanah dan tanggung jawab kepada persyarikatan sebagai owner AUM itu sendiri. Harus juga dipertanyakan komitmen bermuhammadiyah, jika ada pimpinan persyarikatan atau pimpinan AUM tidak memberikan kesempatan kepada kader untuk mengabdi atau memipin AUM itu sendiri. Karena dalam diri kader telah tersemai dan tertanam komitmen bermuhammadiyah dan berIslam. Jikalah ada ketidak sesuaian dalam bermuamalah baik dalam pandangan Islam dan Muhammadiyah, itulah tugas pimpinan peryarikatan untuk melakukan perkaderan. Tentunya, proses perkaderan selama di organisasi otonom Muhammadiyah (ortom) tetap ada kekurangan. Oleh karenanya, AUM-lah yang menjadi tempat penyempurna perkaderan dan juga tempat ujian dari hasil perkaderan selama di ortom.
Menjadi catatan selanjutnya bagi pimpinan AUM maupun persyarikatan, bahwa perkaderan yang dilakukan oleh AUM, baik itu sekolah maupun PTM harus sesuai dengan pedoman dari MPK Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena kaderisasi dalam Muhammadiyah merupakan proses formal serta sakral yang harus ditaati dan dijalankan. Selain itu, pekaderan Muhammadiyah pada dasarnya merupakan sebuah proses pendidikan, pembelajaran dan pelatihan dalam rangka pengembangan kepribadian kader agar memiliki kompetensi keberagamaan, akamedis dan intelektual, sosial kemanusiaan dan kepeloporan, dan kompetansi keorganasiasian dan kepemimpinan (Keputusan Muktamar ke 46, 2010).
Majelis Pendidikan Kader (MPK) sebagai pengelola, secara organisasi memiliki tanggung jawab atas segala proses perkaderan di Muhammadiyah. Namun juga tidak terlepas dari majelis yang membidangi amal usaha itu sendiri. Sekolah di bawah Majelis Pendidik Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan Perguruan Tinggi di bawah Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, juga harus memprioritaskan perkaderan sebagai program utama dan berkelanjutan. Sehingga carut-marut dalam kepemimpinan AUM akan bisa diminimalisir, kader yang memiliki potensi memajukan AUM dapat terfasilitasi dengan baik dan tidak ada lagi cerita kekeringan kader dan keributan dalam pergantian kepemimpinan AUM.
Oleh karena itu guru dan dosen yang ada di lembaga pendidikan Muhammadiyah harus disebut guru dan dosen Muhammadiyah, bukan di Muhammadiyah. Akan beda arti jika kedua istilah itu ditafsirkan. Guru dan dosen Muhammadiyah itu artinya dia harus aktif di salah satu level pimpinan Muhammadiyah diranting, cabang, daerah, wilayah atau dipusat. Selain itu meraka juga bisa aktif di salah satu ortom baik itu di Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Pandu Hizabul Wathan atau ‘Aisyiyah. Mereka memiliki komiten dan tanggung jawab untuk mengembangkan dakwah persyarikatan di masyarakat. Jika guru atau dosen di Muhammadiyah, itu artinya dia hanya mencari hidup di Muhammadiyah, bahkan bisa menjadi benalu Muhammadiyah dan pastinya akan menduakan Muhammadiyah baik secara ideologi maupun gerakan sosial kemasyarakatan.
Editor: Renci