Oleh : Salman Rifqi Saputra
Fenomena tantang-menantang nampaknya sedang banyak bersliweran di jagad nusantara akhir-akhir ini, terlebih dunia maya. Memang menarik ketika yang diperbincangkan adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara real. Secara, masyarakat Indonesia sangat kental dengan budaya klenik dan sinkretisme. Memang betul ketika kita membaca buku-buku sejarah dengan corak adat budaya lokal, sudah menjadi hal biasa bahwa masyarakat kita sangat akrab dengan istilah-istilah santet, pelet, susuk, kebal dan lain sebagainya. Tetapi yang jadi soal adalah mengapa harus saling tantang-menantang? Belum lagi yang membawa instrumen keagamaan sebagai salah satu pemanisnya. Sebelum berlanjut, penulis ingin menggaris bawahi bahwa penulis sama sekali tidak ada sentimen dengan himpunan dukun Indonesia.
Mari sedikit menilik ke beberapa masa silam dimana ilmu-ilmu yang sekarang ini hanya sekedar untuk menantang lawan tandingnya, sebenarnya dahulu kala sudah ada mungkin sejak zaman-zaman kerajaan yang berdiri kokoh di Negeri ini. Kisah kebal misalnya, ini menjadi hal yang sudah terdengar familiar di masyarakat kita. Tetapi dikotomi perbincangannya tetap menjadi bumbu yang cukup lezat diobrolkan hingga sekarang. Mungkin ada yang menggap jika ilmu kebal ini benar-benar bantuan makhluk alam gaib, tetapi tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa hal tersebut bisa dilakukan karena perubahan mekanisme saraf tubuh saja, atau masih banyak pendapat-pendapat lainnya yang sudah pasti ingin mendominasi lambe turah percakapan ringan negara ber-flower ini.
Kemudian apa dampak pada pembentukan pola pikir kita saat ini? Jika Pengetahuan tentang iman dan ilmunya cukup, saya rasa tidak akan berdampak apalagi secara signifikan terhadap kepercayaan dan proses berpikirnya. Nah, yang menjadi persoalan adalah banyak orang-orang awam yang secara agama masih harus dikuatkan dan secara iptek masih harus didongkrak. Pertama, ada tipe orang yang berpikir bahwa fenomena ini adalah ilmu baru yang bisa dipelajari secara instan dan kemudian boleh langsung dipraktekan. Tipe orang seperti ini tidak sedikit yang gagal, wajar karena serba cetek.
Kedua, tipe orang yang ingin viral karena fenomena ini dianggap seksi. Manusia dengan spek rendah tapi ingin terlihat mantap jiwa ini biasanya memanfaatkan momentum seperti ini untuk cari sensasi, koar-koar di Dunia Maya tetapi jika dibuktikan secara langsung hasilnya nol. Biasanya langsung minta maaf dan segera klarifikasi. Tidak heran, spek rendah ingin menang banyak. Tidak semudah itu ferguso, ucap dukun yang memang secara taksonomi perdukunan ada di tingkat kingdom.
Ketiga, lambe turah yang hobinya berkomentar dan membuat banyak dukun menjadi marah besar. Nah, orang dengan tipe ini memang berada pada jalur yang agak aman, karena tidak bisa dideteksi. Boleh jadi akunnya adalah akun bodong, kecuali ada inisiatif dari himpunan dukun Indonesia untuk bersatu-padu melakukan proses penyidikan dan penyelidikan hingga para lambe turah ini bisa diadili di mahkamah perdukunan, dituntut dengan hukuman seadil-adilnya. Ah, tentu masih banyak corak manusia-manusia bermunculan akibat fenomena ini. Yang perlu kita waspadai boleh jadi ini merupakan bagian dari pergerakan masif himpunan dukun Indonesia dalam mengembalikan zaman keemasannya supaya masyarakat Indonesia kembali pada jalurnya, yakni berobat pada dukun-dukun sakti yang namanya sudah pasti mashur dengan marketing digitalnya. Menarik, kita tunggu saja apakah nilai marketing para dukun ini akan laku keras di kalangan millennial yang saat ini hobinya hanya sekedar membaca snap WA, snapgram dan tiktok. Babak baru akan dimulai!