Oleh: Redaksi
Berbicara tentang sebuah kota, pembahasan yang mungkin tidak bisa dienyahkan adalah mengenai pembangunan infastrukturnya, seperti jalan maupun pembangunan-pembangunan fisik lainnya. Seolah, pembangunan fisik merupakan sebuah isu yang semestinya diangkat. Karena memang jelas, berbicara tentang isu pembangunan adalah bicara tentang kerja nyata yang secara fisik terlihat oleh mata.
Berbeda dengan isu literasi yang lebih terpinggirkan dengan isu dan kepentingan lainnya. Meskipun sebagai pegiat literasi, tentu senang karena belakangan ini literasi juga menjadi bahasan yang naik daun sebagai salah satu upaya yang diusahakan oleh pemerintah, khususnya pemerintah Kota Metro untuk menumbuhkembangkan budaya literasi dalam rangka mendukung visi misi pembangunan Kota Metro.
Klaim terhadap Metro sebagai Kota Literasi tentu bagi para relawan dan pegiat literasi adalah suatu kabar yang menyenangkan, pasalnya dalam hal ini kita bisa berkolaborasi, bersinergi, dan berkontribusi dalam rangka meningkatkan literasi di Kota Metro. Namun, apakah klaim Metro sebagai Kota Metro diimbangi dengan ikhtiar untuk memaksimalkannya? Secara pergerakan, jika melihat realitas, klaim Metro sebagai kota literasi belum terlihat progresnya.
Pertama , jika membahas persoalan literasi, miris bahwa memang minat dan daya baca masyarakat sangat rendah. Tapi, ada kemungkinan bahwa rendahnya minat baca masyarakat adalah karena minimnya fasilitas. Bersama kita sadari bahwa fasilitas seperti buku itu sangat jauh dari lingkungan masyarakat. Pemerintah tidak mendekatkan fasilitas kepada masyarakat, sehingga muncul pertanyaan, sebenarnya siapa sasaran dalam peningkatan literasi di Kota Metro? Ataukah jangan-jangan sebutan Metro sebagai kota literasi adalah sebatas formalitas.
Kedua , berbicara tentang konsistensi membangun kota literasi, maka harus berbicara tentang program kerja yang bisa dihadirkan untuk mencapai tujuan tersebut. Semisal gerakan 1000 buku untuk komunitas literasi, duduk bareng dengan pegiat atau relawan literasi. Artinya, hal ini selain menghadirkan fasilitas yang dekat dengan masyarakat, juga harus ada anggaran yang jelas untuk melaksanakan program kerja dengan tujuan memasifkan gerakan-gerakan literasi. Dalam hal ini, apakah pemerintah sudah benar-benar serius merumuskan program kerja yang sistematis dan terukur?
Ketiga , benar bahwa ketika berbicara literasi maka tidak hanya menyoal membaca dan menulis, melainkan adalah kecakapan dalam berbicara, memecahkan masalah, literasi digital dan lain-lain, akan tetapi kebijakan seperti apa yang kemudian pemerintah Kota Metro hadirkan untuk membentuk atmosfir literasi tersebut. Untuk serius dalam literasi baca tulis saja, Kot metro tidak benar-benar maksimal.
Maka dengan ini, Kota Metro secara ideal belum bisa dikatakan sebagai kota literasi. Pasalnya, masyarakat juga masih kesulitan untuk dekat dengan fasilitas literasi seperti buku. Kedekatan masyarakat terhadap buku justru terbangun karena kehadiran komunitas literasi, yang lebih ramah terhadap masyarakat.
Pemerintah Kota Metro perlu menyadari bahwa tidak semua kalangan masyarakat di Kota Metro adalah pengusaha, pejabat dan petinggi lainnya. Ada yang juga petani, pedagang kaki lima, yang akses terhadap perpustakaan bisa mereka lakukan setiap pagi. Sedangkan perpustakaan juga akan tutup sore hari. Ini adalah contoh problematika yang seharusnya menjadi perhatian di mana pemerintah Kota Metro memikirkan bagaimana seluruh elemen masyarakat Kota Metro mampu membiasakan membaca tanpa terkendala oleh ruang dan waktu.
Terakhir, usaha untuk meningkatkan kota literasi adalah ikhtiar yang harus dilakukan secara kolektif kolegial, maka pemerintah dalam hal ini jika ingin serius maka harus melibatkan elemen masyarakat dan menghadirkan fasilitas serta konsistensi program kerja yang mana arah dan gerakannya adalah mencapai tujuan untuk mewujudkan Kota Metro sebagai kota literasi.
(aku R)