Oleh : Redaksi
Lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 12 Agustus 1902, Bung Hatta memiliki nama asli Muhammad Athar. Bagian yang tak banyak orang tahu. Sebab sebuah kebiasaan, nama Athar menjadi Atta hingga akhirnya menjadi Hatta. Sebagaimana para tokoh yang lahir di daerah Sumatra Barat, Hatta hidup dengan keluarga yang taat dalam Agama Islam. Darah keturunan pedagang dan ulama ada dalam keluarga besar Hatta.
Hatta kerap menjadi pelengkap nama setelah Soekarno dalam julukan Dwi Tunggal, tapi memang jejak keduanya terpatri dalam kemerdekaan bangsa. Kisah Hatta barangkali tak sebenderang karibnya, tapi barang siapa yang mau sedikit membacanya maka takkan luput dari kagum. Mari mulai dari bagaimana Hatta memulai kisah ia bersekolah. Mengenyam pendidikan karena berada di keluarga yang cukup sejahtera, membuat Hatta menjadi salah satu cucu yang diharapkan kakeknya untuk bersekolah terutama di bidang agama. Ketidaksepakatan antara kakek dan ibunya membuat Hatta tidak berangkat ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Dari sinilah kisah Hatta pada perjuangan dimulai. Memutuskan sekolah ke Belanda juga menjadi perselisihan di pihak keluarga. Hatta ingin mengambil jurusan Ekonomi di negera yang menjajah bangsa sendiri saat itu mungkin menjadi pertentangannya. Namun dasar pengetahuan yang harus ditempuh dengan keminatan pada diri Hatta akan juga menemukan kecintaan pada ilmu agama, hal ini yang kemudian mendapat restu dari kelurga baik dari garis ayah ataupun ibunya.
Menjadi mahasiswa di Belanda menjadikan Hatta aktif menjalankan banyak peran. Ia berorganisasi, menulis, juga membaca banyak buku. Di negeri rantau, berkat tulisan dan kritiknya ia diakui sebagai pemikir anti-kolonial yang cemerlang. Pergerakan aktif Hatta pada berbagai lini di negeri kincir angin membuatnya harus menghabiskan 11 tahun hingga akhirnya lulus. Salah satu kisah yang menarik atas Hatta saat ia menjadi mahasiswa adalah ketika mendapat jatah libur tahunan, ia berkesempatan untuk ke Jerman. Pada kunjungannya itu ia menemukan bahwa uang yang ia miliki menjadi tinggi nilainya tersebab adanya inflansi. Tak banyak pikir, Hatta membeli banyak buku di sebuah toko bernama Otto Meissner. Kecintaan Hatta pada buku adalah fakta yang ada dan tertulis dalam berbagai sumber atas kisahnya.
Bung Hatta kerap lekat dengan nama proklamator atas jasanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa, serta julukan Bapak Koperasi berkat dedikasinya atas ilmu yang ia punya pada ekomoni bangsa pada masanya. Selain itu, fakta tetang Hatta dan bagaimana kecintaanya pada buku menjadi begitu mengagumkan. Hatta pulang ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikan di Belanda dengan berpeti-peti buku. Sepanjang masa pergerakan di Indonesia kehadiran Hatta dengan buku adalah nyata adanya. Pembuangannya ke Boven Digul hingga Banda Neira mengharuskannya meminta jasa pribumi untuk mengangkat enam belas peti miliknya, ya peti bukan kotak kayu kecil pada umumnya.
Hatta muda memiliki janji untuk tidak menikah sebelum Indonesia bisa merdeka, janjinya ini diingat baik oleh karibnya. Berkat Soekarno pulalah akhirnya Hatta menikah. Pernikahan dengan mahar paling mengejutkan. Sebuah mahar yang membuat ibundanya hampir murka, buku filsafat yang ia tulis sendiri. Buku sebagai mahar Hatta tidak berisi puisi atau kisah manis tapi buku dengan judul “Alam Pikiran Yunani”. Hatta barangkali adalah tokoh literasi sejati. Ia mencintai buku-buku melebihi banyak hal, kelakar teman seperjuangannya dulu adalah istri pertama Hatta ialah buku, sedang Rahmi yang adalah istrinya merupakan istri keduanya. Ia juga tak pernah luput menulis di berbagai media sejak ia muda hingga setelah mengundurkan diri dari jabatannya. Enam sampai depan jam sehari adalah waktu wajib yang Hatta habiskan untuk membaca ataupun menulis. Meninggalkan sekitar sepuluh ribu judul buku saat wafat, Hatta mendedikasikan hidupnya kepada banyak buku adalah kisah yang patut dikenang. Sang tokoh literasi bangsa.
Kecintaan Hatta pada bangsa dan rakyatnya tak bisa kita salami hanya dari satu sudut pandang saja.“Saya tidak ingin dimakamkan di Makam Pahlawan. Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya,” sepenggal wasiat Hatta yang akan terus diingat sebagai dedaksi besarnya pada rakyat bahkan di kala tutup usia. (dna)