Oleh: Muhammad Habibi (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung /
Ketua DPP IMM Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan 2021-2023)
Marwah pendidikan tinggi di Indonesia saat ini sedang tercoreng di mata publik. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila) bersama tiga jajarannya serta satu pihak swasta sebagai tersangka kasus gratifikasi penerimaan mahasiswa baru Unila jalur seleksi mandiri (20/8/22). Dalam pointers konferensi pers nya, KPK mengkonstruksikan perkara Karomani (Rektor Unila) meminta tarif kepada orang tua peserta seleksi berkisar minimal seratus juta rupiah hingga tiga ratus lima puluh juta rupiah. Total nominal yang ditemukan KPK sebesar empat koma empat miliyar rupiah dalam tangkap tangan perkara tersebut, lantas dimasa mendatang masih relevan kah seleksi mandiri perguruan tinggi negeri tetap dipertahankan?
Celah Korupsi Seleksi Mandiri
Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjamin setiap perguruan tinggi negeri baik dengan kategori perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) maupun Non PTN-BH dapat melaksanakan penerimaan mahasiswa program sarjana melalui secara mandiri. Hal tersebut secara implikasi diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada Perguruan Tinggi dilaksanakan secara otonom. Dalam kuota penerimaan mahasiswanya, PTN-BH dapat menerima minimal lima puluh persen sedangkan Non PTN-BH menerima tiga puluh persen. Dengan kuota sebesar itu ditambah pelaksanaanya dilakukan secara otonom, Rektor sangat memainkan peranan penting dalam proses seleksinya.
Kedua regulasi tersebut membedakan seleksi penerimaan mahasiswa menjadi tiga jalur. Pertama melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), kedua melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan seleksi lainnya yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi (Mandiri). Seleksi yang pertama dilaksanakan melalui penjaringan nilai akademik atau prestasi non-akademik calon mahasiswa saat di Sekolah Menegah Atas atau Kejuruan, seleksi kedua dilaksanakan melalui Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK) dan seleksi ketiga dilaksanakan melalui UTBK dan interview (wawancara) oleh perguruan tinggi secara mandiri.
Penentuan kelulusan calon mahasiswa dari ketiga seleksi tersebut terletak penuh pada Rektor walaupun terdapat perbedaan dimana pada proses seleksi pertama dan kedua ada keterlibatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Tekonologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristekdikit) melalui organisasi lembaga tes masuk secara non struktural kementerian, sedangkan seleksi yang ketiga secara penuh dilaksanakan oleh Rektor.
Perbedaan proses dari ketiga seleksi tersebut yang menjadi catatan celah korupsi dapat dilakukan oleh Rektor melalui kewenangan penentuan kelulusan calon mahasiswa. Kejadian operasi tangkap tangan (OTT) KPK tanggal 19 Agustus lalu membuktikan jika proses seleksi mandiri memiliki celah dilakukannya praktik suap dan gratifikasi penerimaan mahasiswa oleh Rektor, dan hal tersebut mungkin saja baru terlacak oleh KPK pada Unila. Bukan barang mustahil praktik demikian juga dilakukan pada Perguruan Tinggi Negeri lainnya.
Dua Opsi Seleksi Mandiri, Perbaikan atau Tiadakan
Seleksi penerimaan mahasiswa secara mandiri pada perguruan tinggi negeri menimbulkan simalakama dalam pelaksanaanya. Satu sisi, proses seleksi mandiri merupakan pintu awal dapat dilaksanakannya subsidi silang anggaran perguruan tinggi negeri dimana mahasiswa yang diterima pada seleksi ini ditetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) standar maksimum atau UKT tertinggi. Hal tersebut dilakukan guna membantu finansial biaya kuliah mahasiswa dari kalangan finansial menegah kebawah melalui beasiswa bidik misi atau PMPAP. Namun, pada sisi lainnya seleksi mandiri terbukti menjadi lahan praktik suap dan gratifikasi dilakukan oleh Rektor.
Mendikbudristekdikti dalam jangka waktu dekat harus memutuskan situasi simalakama ini. Pilihan yang dapat dilakukan hanya dua opsi, memperbaiki sistem seleksi mandiri yang harus diintegrasikan oleh Kemendikbudsitekdikti atau menghapuskan seleksi mandiri. Jika opsi pertama dilakukan oleh Menteri maka kewenangan penentuan kelulusan secara penuh oleh Rektor harus dirubah menjadi kewenangan penuh Menteri, atau jika opsi kedua yang diambil maka Menteri harus mengajukan kepada Presiden melalui Menteri Keuangannya untuk menganggarkan biaya subsidi silang, baik melalui beasiswa bidik misi maupun PMPAP dianggarkan secara penuh oleh pemerintah.
Sulit meniadakan subsidi silang anggaran perguruan tinggi, jika ditiadakan sama saja pemerintah inkonstitusional dalam menjamin hak mendapatkan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat kurang mampu. Namun jika seleksi mandiri tetap dipertahankan tanpa perbaikan, kejadian OTT dapat saja dilakukan oleh KPK diperguruan tinggi negeri manapun jika terjadi temuan atau laporan masyarakat. Saya rasa publik sangat menyayangkan apa yang terjadi pada Unila, namun dibalik kejadian OTT KPK ini ada secercah harapan baru perbaikan bagi sistem pendidikan tinggi di Indonesia kemudian harinya secara berkualitas, akuntabel dan transparan.