Oleh: Mansurni Abadi
Meskipun kita percaya bahwa akal (kita) mengatur kata-kata, namun tak salah juga bahwa kata-kata yang kita gunakan memengaruhi cara kita memahami sesuatu. Salah satu contoh terbaik adalah bagaimana media membingkai narasi tertentu atau para politisi yang menutupi fenomena sosial tertentu.
Politisi ahli dalam menggunakan retorika untuk membujuk atau mendapatkan tanggapan tertentu. Kita semua rentan terhadap argumen yang dibingkai dengan baik dan pidato yang dibangun dengan cerdik. Seperti yang dicatat Francis Bacon, “Kata-kata dengan jelas memaksa dan mengesampingkan pemahaman.”
Menjelang tahun politik, permainan kata-kata dari para politisi akan membanjiri ruang-ruang publik. Oleh karena itu, menyeimbangkan antara pengetahuan dan apa yang kita percaya menjadi amat penting karena dalam situasi keberpihakan politik yang akan terjadi nanti hal ini bisa menggerus objektivitas kita dalam melihat suatu fenomena sosial. Kita memang gampang digiring untuk mendukung opini berdasar apa yang kita percayai, bukan apa yang kita ketahui.
Membangun nalar kritis menjadi amat penting ditengah obesitas retorika yang akan terjadi nanti, hal ini akan menghindarkan kita dari keterjebakan pemahaman terhadap fenomena sosial yang terjadi serta menjadikan pemahaman kita terhadap politik tidak biner sehingga kita seringkali berhadap-hadapan dengan saudara sendiri jauh setelah para politisi tadi bagi-bagi kue kekuasaan.
Belajar dari Socrates
Ketika mencoba mempelajari filsafat, satu hal yang amat penting saya dapatkan adalah mengasah nalar kritis lewat metode tanya-jawab yang selalu di hubungkan dengan metode Socrates. Jadi kalau kita membaca kisah dari Socrates, seorang filsuf yunani kuno itu maka kita akan mendapati jika Socrates tidak beretorika, tidak mendasarkan pemikirannya kepada hal-hal yang berbau mitologi.
Tentu Berbeda dengan kaum Sofis, Socrates mendasarkan pemikirannya kepada hal-hal yang rasional dan logis, serta meneguhkan kebenaran yang objektif. Bagi Socrates, tidak semua kebenaran itu relatif melainkan ada juga yang objektif. Dengan cara itu dia menjalin dialog dengan orang-orang biasa maupun kaum Sofis. Dia membangun diskusi mulai dari persoalan-persoalan sederhana, sesuai dengan pengetahuan setiap orang yang diajaknya berbicara. Selain itu Sokrates memulainya dengan mengajukan pertanyaan mengenai definisi tentang hal-istilah-istilah yang sudah akrab dan lazim digunakan, seperti apa itu cinta, keadilan, kebenaran, kebahagiaan, keberanian, dan sebagainya. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sokrates, orang-orang di dorong untuk berpikir dengan cermat, logis dan rasional, didasarkan pada fakta-fakta yang nyata, bukan sekedar keyakinan semata.
Metode tanya-jawab Sokrates tersebut disebut Dialektika Logika. Dengan metoda ini, baik si penanya maupun si penjawab, keduanya akan sama-sama mendapatkan pelajaran berharga, dan berujung pada pengakuan bersama, “ternyata saya tidak tahu, anda tidak tahu, jadi siapa yang tahu?” atau “ternyata saya bodoh, anda juga bodoh. Jadi, siapa yang pintar ?” atau “ternyata anda tidak bijksana, dan saya tidak bijaksana. Jadi, siapa yang bijaksana ?” dengan dialektika logika ini, akhirnya semua pihak jujur dengan keadaan dirinya jadi merendah, jauh dari kesombongan, tidak ada yang merasa lebih tahu, lebih pintar, lebih cerdas, lebih suci dan bijaksana dari pihak lainnya.
Akhirnya Sokrates menyadari, bahwa dirinya disebut bijaksana oleh Orakel Dewa Apollo itu bukanlah karena Sokrates serba tahu yang sekarang diistilahkan dengan obesitas informasi. tetapi karena Sokrates sadar bahwa dirinya tidak tahu dan oleh karena itu perlu mencari tahu dengan kerendahan hati . Sehingga sokrates tidak pernah merasa dirinya bijaksana. Sedangkan mereka yang merasa bijaksana, pada dasarnya adalah orang-orang yang tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Sokrates berkata, “Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia hanyalah sedikit. Dan tampaknya para Dewa menyebut namaku untuk menjadikan aku sebagai contoh bagi umat manusia, bahwa jika di antara kalian ada orang yang paling bijaksana, itulah dia orang yang menyadari bahwa dirinya tidak bijaksana.”
Jadi kritisme dengan kata-kata dimulai lewat dialektika logika, setiap kata yang membanjiri ruang publik kita perlu kita pertanyakan lebih dahulu jadi menepatkan pengetahuan dan kepercayaan dalam keseimbangan adalah hal penting agar tidak menjadi pion-pion dari dari ganasnya pertarungan kekuasaan.
(sumber foto: http://kompas.com)