Oleh : Vrendi Al Fatih
Para ulama mengklasifikasikan ibadah yang diperintahkan Allah menjadi dua kategori, ibadah mahdoh dan ibadah ghoiru mahdoh. Ibadah mahdoh dan ghoiru mahdoh yang dijalankan manusia tidak lain dan tidak bukan, merupakan cara terbaik menuju penghambaan yang sejati. Dalam Alquran pada Surat Adzariat ayat 56 tertulis jelas tentang,“Dan tidaklah Aku menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk beribadah”. Dalam ayat tersebut sudah gamblang disebutkan bahwa tugas manusia hanya untuk beribadah. Namun bagaimana sebenarnya ibadah yang sejati itu?
Untuk menjadi hamba yang sejati, Ibnu Arobi membaginya menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama, membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan mahluk. Pada tahap ini, seseorang melaksanakan ibadah mahdoh maupun ghoiru mahdoh masih memikirkan keumuman pada masyarakat, mereka khawatir jika tidak melaksanakannya dirinya akan tercela. Masih berupaya membebaskan diri dari stigma negatif orang lain.
Sering kali ibadah yang dilakukan bercampur baur dengan ketakutan yang timbul dari luar dirinya, takut hartanya habis ketika bersedekah, takut akan dipandang sok suci, takut dianggap tak bermoral jika tak melaksanakan ibadah, takut dianggap seorang yang tidak saleh dan salihah, dan semua anggapan negatif orang lain jika tak melaksanakan ibadah, serta Allah belum sepenuh muncul di sini.
Tingkatan kedua, ibadah hanya kepada dan untuk Allah. Dalam tahapan ini seseorang melaksanakan ibadah mulai intens dan merasa nikmat, serta Allah mulai ada dalam ibadahnya. Mulai terlepas dari tingkatan yang pertama, mulai terlepas dari keterikatan mahluk dalam ibadahnya menuju cintanya Allah. Seseorang yang ada pada tahapan ini memandang ibadah yang dia lakukan dengan mengharap pahala dari Allah, dan menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Khusnul Khuluq atau ahlak yang baik kepada sesama dipandang sebagai salah satu cara mendapatkan pahala dan agar tidak mendapatkan murka.
Pada tahapan ini cinta kepada Allah belum sepenuhnya hadir di setiap dia menjalankan kehidupan, Allah dia hadirkan hanya pada saat dia melaksanakan ibadah, walaupun dia sadar bahwa menuju hakikat ubudiyah merupakan sifat manusia sebagai hamba Allah. Sifat yang dimaksud yakni patuh dan taat terhadap semua perintah dan larangan, dan melaksanakan perintah serta meninggalkan larangan tanpa membantah atau merasa keberatan, menjaga batasan-batasan, kerelaan atas apa yang ada, serta kesabaran atas kehilangan, pada tahapan ini cintanya kepada Allah hadir bersamaan dengan perasaan meminta timbal balik.
Tingkatan Terakhir, menghadirkan Allah setiap waktu. Tahapan ini merupakan puncak penghambaan (ubudiyah) seseorang. Seseorang yang ada pada tingkatan ini sudah sepenuhnya melewati tingkatan pertama dan kedua munuju hamba yang sejati. Di setiap lini kehidupanya yang dia pikirkan hanya Allah, tingkah lakunya mencerminkan apa maunya Allah, tidak lagi di tingkatan ibadah secara lahiriyah tapi ibadah lahir dan batin yang melahirkan cintanya pada Allah. Pada tahap ini seseorang seseorang akan sering berkata “aku salat sesuai syariat karena Allah suka, dan akupun cinta karena Allah suka” dan pikiran ini ia hadirkan di setiap tingkah lakunya sebagai hamba.
Itulah tingkatan-tingkatan yang harus dilalui jika benar-benar ingin menjadi hamba yang sejati, dan mendapat cinta dari Allah tanpa meminta pada-Nya, jika hal itu didapatkan segala kekhawatiran tentang apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi dalam hidup akan sirna. Wallahua’lam bisshowab.
Editor: Dwi Novi Antari