Oleh: Agus Wibowo
Guru sering kali diuraikan menjadi sebuah arti dari dua kata, yakni digugu dan ditiru. Digugu artinya apa yang diucapkan dan dicontohkan merupakan suatu kebenaran. Hal itulah menjadi dasar apa yang guru sampaikan akan benarkan oleh murid-muridnya. Lalu, ditiru artinya hal-hal yang dilakukan oleh guru akan diamalkan juga oleh muridnya. Profil ideal yang melekat inilah yang diharapkan menjadi identititas yang terus ada pada personalia guru di Indonesia, mampu menjadi contoh nilai-nilai kebenaran, moralitas, sikap disiplin serta bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sebagai sosok yang digugu dan ditiru.
Problematika yang muncul saat ini adanya oknum guru melakukan tindakan yang mencerminkan sikap kurang baik di hadapan muridnya. Jika guru itu layak untuk digugu dan ditiru dalam konteks apapun, akan menjadi runyamnya manakala murid dihadapkan dengan guru yang memiliki perilaku-perilaku tidak etis bahkan kriminal. Tentu hal ini akan berpengaruh pada hasil pendidikan itu sendiri, murid pun akan menjadi tidak sehat kepribadiaanya, tidak terjaga perilakunya, serta tidak mencerminkan nilai kesantunan sebagaimana yang ada pada diri gurunya. Murid-murid yang yang dihasilkan guru yang tidak etis adalah murid-murid yang hanya akan menjadi penyakit bagi masyarakat, suka mengganggu ketentraman bagi masyarakat, menyulut kebencian, perusakan masa depan bahkan bisa sampai pada krisis moral.
Pertanyaan yang mendasar, ada apa dengan guru? Atau lebih tepatnya kenapa oknum dari guru yang bermoral wagu dan saru yang semakin banyak bermunculan. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan adanya hadirnya guru yang tidak bisa digugu dan ditiru muridnya. Pertama adalah moralitas (morality), profesi guru yang saat ini lebih cenderung mengedepankan kompetensi serta profesionalitas bukan moralitas. Hal ini menjadikan guru yang tingkat intelektualnya tinggi atau cerdas akan timpang karena tidak diimbangi oleh moral yang baik. Alasan ini yang memungkinkan munculnya sikap-sikap yang menyimpang dari apa yang menjadi perannya sebagai guru.
Kedua adalah kesejahteraan (well-being), tingkat kesejahteraan guru masih saja menjadi pemicu terjadinya persoalan baru yang timbul akibat frustasi. Hal ini tentu harus menjadi perhatian oleh para penyelenggara pendidikan baik itu sekolah, pondok ataupun lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan lainnya. Dalam prosesnya menciptakan kenyamanan di lingkungan pendidikan, baik untuk siswa maupun guru juga penting untuk dilakukan karena hal tersebut bisa melahirkan kebahagiaan dalam bekerja serta tidak melakukan tidakan-tindakan yang melanggar etika di lingkungan pendidikan itu sendiri.
Ketiga adalah oknum-oknum tersebut kemungkinan menderita kelainan jiwa. Penderita kelainan jiwa yang kebetulan menjadi guru. Hal ini menjadi catatan bahwa memilah dan memilih guru juga harus melihat dari segala sisi kehidupan calon guru yang akan direkrut, karena akan ikut terlibat langsung dalam proses mendidik murid-murid.
Tentunya kita semua mengaharapkan bahwa guru-guru yang wagu dan saru tersebut tidak semakin banyak di Indonesia. Banyak langkah strategis yang perlu dilakukan dalam pendidikan guru ialah menekan sisi moral. Guru tidak hanya diperkaya dengan dengan materi-materi kompetensi dan keterampilan melainkan juga harus diperkaya dengan etika moral, tanggung jawab dan sejenisnya. Selain dari pada itu, masalah frustasi akibat tekanan kebutuhan kehidupan, perlu dipikirkan lebih jauh oleh pemerintah, pengurus sekolah dan wali murid dalam upaya memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi guru.
Editor : Dwi Novi Antari