Oleh : Redaksi
Tujuh puluh tujuh tahun lalu, tepat di tanggal 6 Agustus bom nuklir jatuh di Hiroshima. Tahap akhir Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat hampir menang atas Jepang. Sederet peristiwa lainnya juga berturut hadir dalam rangkaian perang yang masuk diberbagai ulasan buku sejarah. Hingga pada akhirnya Jepang menyerah pada sekutu. Barangkali momentum seperti ini bukan sesuatu yang perlu hafal dan ingat secara rinci, akan tetapi sedikit membaca fakta sejarah merupakan hal baik. Lebih jauh tulisan ini tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang alur peperangan, tetapi pada sosok yang menjadi muasalah berita kekalahan Jepang pada masa itu.
Pada saat penjajahan Jepang mendengar radio, salah satu teknologi paling canggih di masa itu, adalah terlarang. Istilah yang resmi adalah “radio disegel” kepada siapapun yang di rumahnya, rumah yang memiliki radio akan ditempeli dengan stiker dari pihak Jepang. Tidak ada yang berani melanggar, semua patuh. Tetapi momentum kekalahan Jepang mengusik salah satu tokoh bangsa untuk secara sembunyi mendegarkan siaran radio. Atas keberaniannya itulah berita menyerahnya Jepang pada sekutu bisa sampai kepada beberapa orang berpengaruh di Tanah Air kala itu. Perkenalkan, orang pertama yang mendengar kekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua adalah Sutan Syahrir.
Barangkali sedikit fakta terkenal tentang Sutan Syahrir sebatas bahwa ia adalah Perdana Menteri Pertama Indonesia. Ada banyak hal dari Bung Kecil yang harus diuraikan. Ya, Sutan Syahrir dikenal sebagai Bung Kecil karena tingginya tidak mencapai satu setengah meter, hanya 145 sentimeter. Tapi sejarah mencatatnya sebagai Bung Kecil dengan keberanian yang besar. Di awal tulisan ini sudah terjabarkan. Jika pada awal kemerdekaan terkenal julukan Dwi Tunggal, yakni Soekarno dan Hatta karena momentum Proklamasi, sesungguhnya ada julukan lain yakni Tiga Serangkai yang terdiri atas Bung Besar atau Soekarno, Bung Hatta, dan Bung Kecil pada awal terbentuknya Republik ini.
Lahir di Sumatra Barat, Sutan Syahrir adalah sosok pemberani sejak masa sebelum kemerdekaan. Ia menjadi pembangun jembatan gerakan bawah tanah. Ia yakin Jepang akan kalah pada perang maka ia menyiapkan diri merebut kemerdekaan tanpa menunggu diberikan dari penjajah itu sendiri. Mendengar berita menyerahnya Jepang di radio hanya salah satu keberanian yang ia miliki. Syahrir juga menjadi sosok yang mendukung tokoh-tokoh muda untuk mendesak Dwi Tunggal untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Syahrir adalah salah satu pribumi yang berkesempatan mengenyam sekolah pada masa kolonial Belanda dari ELS, MULO, hingga AMS di Bandung. Tentu saja salah satu alasan utama ia bisa bersekolah adalah keluarganya yang hidup sejahtera. Mengenyam pendidikan di masa penjajahan adalah sesuatu yang berharga. Namun ia bukan hanya sekadar bersekolah, ketekunannya pada ilmu pengetahuan dibuktikan dengan meneruskan pendidikannya sampai ke Belanda, mengambil Fakultas Hukum di salah satu Universitas di Belanda. Syahrir juga terkenal dengan buku-buku yang ia baca, juga hobinya diskusi dan debat. Sebuah akar yang nanti menjadikan sebagai diplomat ulung yang dikenang.
The Smiling Diplomat adalah julukan yang diterima Syahrir dari para wartawan peliput sidang Dewan Keamanan PBB. Prestasinya diakui di dunia internasional, tetapi jauh sebelum itu ia adalah pemuda yang turut andil dalam berbagai gerakan sosial hingga politik. Ia ikut andil dalam menggagas Perhimpunan Pemuda Nasionalis atau Jong Indonesie. Jika Sumpah Pemuda adalah salah satu yang kita ingat, percayalah Sutan Syahrir bahkan ada di dalam kegiatan tersebut. Jejak perpolitikannya di masa penjajahan dahulu menghantarkan dirinya diasingkan bersama Hatta di Boven Digul, hingga ke Banda Neira. Dua pulau di Banda Naira diberi nama Pulau Sayhrir dan Pulau Hatta sebagai bukti sejarah pada dua sosok yang memperjuangkan bangsa dalam pengasingan.
Meski terus berjalan sebagai intelektual muda, pejuang bangsa, dan diplomat pemberani sejatinya Syarir mengajarkan kita tetap setia pada jati diri, ia adalah sosok yang mencintai seni, usia mudanya dulu tak dikenang ia menyukai music klasik, bahkan pada perasingannya Hatta menjadi saksi bahwa Bung Kecil kerap bercengrama dengan music klasik semisal gubahan Beethoven pada gramofon miliknya. Sutan Syahrir juga memainkan biola.
Sebagaimana Pendiri Bangsa lainnya, Syahrir juga meninggalkan jejak perjuangannya dalam bentuk karya. Di antara beberapa buku yang ia tulis adalah Perjuangan Kita, buku yang monumental karena berisi pamflet-pamflet perjuangan Indonesia. Sutan Syahrir mampu mengawal perjalanan kemerdekaan dengan gagasan. (dna)