Oleh Redaksi
Kalimat menghibur seperti “semangat ya!” , “Ayo! Kamu pasti bisa!” , “Jangan sedih, banyak orang yang lebih susah dari kamu!” dan lain sebagainya adalah kalimat semangat yang cukup sering kita dengar. Tapi bagaimana jika kalimat tersebut justru merupakan kalimat mematikan semangat bagi orang yang sedang dilanda kesulitan dan kegelisahan?
Rasa empati tak jarang menjadikan kita terlampau peduli dengan apapun yang dilakukan atau dirasakan orang lain, tetapi ironisnya hal itu juga bisa jadi boomerang bagi dirinya dan diri orang yang dihibur. Pada beberapa kasus di hidup ini, umumnya orang akan lebih bijaksana ketika menilai masalah orang lain. Pun ia akan menjadi motivator ulung bagi kesedihan siapapun, yang tak jarang justru hadirnya membuat orang lain berpikir “ah lo emang ngga pernah ngerasain jadi gue” , “coba sini rasain jadi aku” dan kalimat penolakan lainnya.
Bercerita menjadi hal dasar yang dimiliki umat manusia sebagai obat ketika lelah, penat atau sekadar menumpahkan rasa senangnya. Kalian pasti pernah merasa sesak atas segala yang dilalui dalam hidup namun tidak memiliki tempat untuk mengungkap, atau kalian tentu juga pernah merasa senang sekali dalam hidup namun yang bisa dilakukan hanyalah bahagia sendirian, beberapa orang mensiasati ini dengan menumpahkannya dalam buku Diary-nya beberapa lainnya menuliskan di status Facebook, postingan Instagram atau di cuitan Twitter.
Bicara perspektif gender, banyak spekulasi mengatakan bahwa perempuan terhitung lebih banyak berbicara dibanding laki-laki, dengan perbandingan hampir tiga kali lipat lebih banyak. Itulah sebabnya kaum perempuan melancholis jauh mewabah yang bisa divalidasi melalui berbagai tempat. Seperti lantunan Dunia Tipu-Tipu milik Yura Yunita, bahwa sebagai seorang manusia kita perlu orang lain untuk dijadikan tempat bertumpu atas seisi dunia yang tak menentu.
Untuk menjawab berbagai hal yang dibutuhkan oleh kaum muda, biasanya mereka akan mencari hiburan yang berbeda-beda bentuknya, ada yang lebih suka membaca buku, baca wattpad, menonton drama korea, mendengarkan podcast, bahkan bentuk pelarian macam fangirling idol K-Pop atau menjadi wibu anime. Tidak salah, tidak pernah ada yang salah dari cara tiap orang menemukan jalan tenang, yang menjadi kesalahan adalah ketika pilihan-pilihan yang diambil justru dikucilkan lantaran tidak sesuai dengan pilihan kebanyakan orang.
Toxic positivity adalah sikap yang membujuk seseorang untuk selalu berbuat dan berpikir positif, tidak melihat seberapa sulit atau buruknya kondisi orang tersebut. Membangun diri untuk bangkit dari segala permasalahan dengan memilih beberapa orang saja yang dipercayakan adalah sebuah langkah kecil untuk menghindari toxic positivity, bahwa semakin sedikit yang mengetahui permasalahan akan meminimalisir kalimat-kalimat yang justru menghujam tajam kedalam dada.
Tanpa disadari, ketika berinteraksi dengan orang lain terutama ketika sedang dilanda masalah yang direspon kurang tepat, akan mengkikis keberanian kita untuk terlihat sedih. Seolah bahwa menjadi bahagia adalah sebuah keharusan, hal itu kemudian membuat seseorang mundur perlahan dari aktivitas biasanya atau dalam beberapa kasus mereka memilih untuk hilang saja. Padahal tentu saja setiap rasa yang hadir adalah nyata adanya, valid dan tidak ada siapapun yang berhak membungkamnya termasuk diri sendiri.
Support system perlu dibentuk untuk memutus siklus toxic positivity, beberapa diantaranya yakni mengubah kalimat memaksakan pikiran positif dengan validasi perasaan yang sedang dialami kemudian mengatakan bahwa kita ada ketika mereka membutuhkan bantuan. Mari mengganti kata “Gitu aja kok ngeluh, semangat dong!” , “kamu masih mending, kemarin aku lebih parah lho!” dengan ”ini memang berat sih, aku bisa rasain apa yang kamu rasain kok. Pelan pelan ya, aku temenin”.
Semoga dengan begitu kita dapat terhindar dari sikap Toxic orang lain atau pelaku toxic positivity. Mari menjadi manusia sama-sama, sama kuat dan saling menjaga. Setiap perasaan yang dialami itu valid dan perlu diakui keberadaannya, sebagai manusia biasa sesekali tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja, seperti kata Fiersa Besari “Kenapa orang kalau mengeluh dipaksa harus bersyukur? Padahal orang kalo mengeluh bukan berarti dia gak ngerti dia harus bersyukur. Orang kalau lagi sedih ya dikasih waktu, dikasih ruang. karena bersedih itu bagian dari menjadi manusia.”
(Dee)