Oleh: Muhammad Habibi (Ketua DPP IMM Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan 2021-2023)
Filsafat hukum merupakan konsepsi dasar dan tertinggi pada kajian ilmu hukum. Dikatakan mendasar karena sebelum mempelajari hukum secara luas, pengkaji atau penstudi (akademisi) ilmu hukum harus memahami pengertian atau istilah, kerangka, pandangan para ahli atau sejarah mengenai hukum itu sendiri. Filsafat Hukum dikatakan sebagai konsepsi tertinggi dari ilmu hukum dikarenakan pembahasan mengenai filsafat hukum tentu berbeda dari pembahasan hukum secara konseptual maupun praktikal, filsafat hukum diperlukan guna mengkaji secara mendalam esensi apa yang hendak didapatkan dari pengkajian ilmu hukum baik yang didapatkan dari pembahasan ilmu hukum secara konseptual maupun secara praktik.
Mempelajari filsafat hukum maka harus diawali dari pemahaman mahzab atau pandangan yang mendasari pembahasan filsafat hukum itu dilakukan. Dalam filsafat hukum terdapat dua mahzab yakni positivisime dan empirisme. Istilah “positivisme” berasal dari kata “ponere” yang berarti meletakkan, kemudian menjadi bentuk pasif positius aum yang berarti diletakkan. Maka positivisme menunjukkan sebuah sikap atau pemikiran pandangan maupun pendekatannya pada suatu hukum secara faktual lalu membentuknya secara konseptual.
Positivisme hukum melihat jika hukum merupakan suatu rangkaian fakta lalu dibentuk menjadi suatu peraturan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu didalam masyarakat yang memiliki kewenangan membentuk peraturan. Mengapa demikian, sebab sumber dan validitas hukum itu bersumber pada kewenangan tersebut. Aliran ini mendasari pandangan jika hukum merupakan suatu fenomena-fenomena sosial yang sifat nya khusus daripada fenomena-fenomena sosial lainnya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Lalu yang menjadi tugas para pembentuknya ialah bagaimana merangkai suatu aturan yang didasari dari rangkaian fakta yang ada dalam masyarakat guna ketertiban hidup masyarakat itu sendiri.
Aliran positivisme hukum ini lahir dan berkembang pada tahun 1748 hingga 1859. Positivisme hukum lahir setelah tenggelamnya masa Reformasi Luther dan rasionalisme yang berkembang pada tahun 1400-1500. Aliran ini ddisari pemikirannya oleh aliran pencerahan, dimana dalam mengembangkan suatu hukum yang berangkat dari fenonema-fenomena sosial yang khusus maka perlu adanya suatu perintah atau aturan untuk melaksanakan ketertiban kehidupan masyarakat untuk menciptakan suatu kepastian. Mahzab positivisme hukum ini dikemukakan serta dikembangkan oleh dua pemikir hukum ternama eropa yakni Jeremy Bentham dan John Austin. Mula-mula pandangan positivisme hukum ini digaungkan oleh Jeremy Bentham lalu dikembangkan secara kaku namun meluas oleh muridnya, John Austin.
Positivisme Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Jeremy Bentham sebagai filsuf awal yang mengemukakan gagasan positivisme hukum ternyata tidak dilahirkan sebagai pemikir hukum dari kalangan civil law-eropa continental ala Jerman, Perancis (code civil) maupun Belanda (weetboek) nya. Jeremy Bentham justru dilahirkan dari kalangan praktisi hukum Anglo-Saxon Inggris, walaupun pada akhirnya Jeremy Bentham lah sebagai pendiri gagasan utillitarinisme. Bentham mewarisi pemikiran ibunya yang berfikir ala rasionalitas pada abad pencerahan selain pemikiran Bentham juga dipengaruhi oleh kepercayaan pious.
Jeremy Bentham bukanlah seorang praktisi hukum, dirinya lebih memfokuskan menjadi pemikir dan penstudi (akademisi) hukum yang hingga saat ini dijadikan pedoman bagi pemikir-pemikir hukum di seluruh dunia dalam membahas hukum secara konseptual. Walaupun dirinya bukan seorang praktisi hukum, dirinya kerap melontarkan kritik terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat berawal dari adanya kebiasaan-kebiasaan, bukan mendasarkan pemahaman penyelesaian fenomena-fenomena tersebut pada kepastian hukum. Disatu sisi, Benhtam menyadari jika kepastian hukum yang tercipta lahir pada suatu peraturan yang dibentuk oleh penguasa yang memiliki kedaulatan membentuk peraturan tersebut. Pada akhirnya, Bentham menyimpulkan jika positivisme hukum itu lahir dari perpaduan fenomena yang dikaitkan pada perintah (command) dan soverignity (kedaulatan).
Bentham mengawali gagasanya dalam pemikiran hukum jika hukum itu dibentuk bukan berdasarkan suatu “subjektifitas” seseorang melihat fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pemikiran atau pandangan seorang ahli hukum atau praktisi hukum menurutnya harus didasarkan pada pemikiran utliranistik berdasar pada patokan atau standar normatif yang dirumuskan serta dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya pemikiran Bentham tersebutlah lahirnya konsepsi tentang ilmu perundang-undangan yang membahas dan mengkaji bagaimana hukum sebagai fenomena-fenomena sosial yang khusus itu dibentuk secara subtansial (isi/muatan) dengan prosedural baku dikarenakan pembuat peraturan itu merupakan orang-orang yang memiliki kedaulatan dengan latar belakang politik (kepentingan) yang beragam.
Hubungan Positivisme Hukum dan Politik
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789) dan The Theory of Legislation merupakan dua karya besar yang dibuat oleh Jeremy Bentham untuk memperluas pandangannya terhadap positivisme hukum di dunia. Berkat dua karya inilah hingga saat ini proses pembentukan perundang-undangan menjadi prosedural, artinya Bentham menggambarkan terjadinya pembentukan perundang-undangan itu tidak hanya mengenai bagaimana subtansinya, namun juga bagaimana prosedur pembentukan perundang-undangan itu dijalankan.
John Austin merupakan murid Jeremy Bentham yang lebih dulu mengemukakan gagasan positivisme dalam berbagai tulisan. John Austin merupakan seorang advokat, namun dirinya tidak sepenuh hati menjalankan profesi tersebut sehingga pada akhirnya Austin lebih memilih memfokuskan dirinya menjadi seorang akademisi hukum. Dalam The Province of Jurisprudence Determined (1832), Austin membagi ruang lingkup penelitian hukum menjadi dua bagian, yakni Analitycal Jurisprudence dan Normative Jurisprudence. Baginya, hukum itu hanyalah dua bagian saja yakni praktikal hukum (penegakan hukum) dan normatif hukum (konseptual norma hukum) yakni peraturan.
Karya Austin yang lain pun pernah menghasilkan suatu pemikiran yang kontroversial pada zamannya, dimana pada saat itu pemikiran pemisahakan pemetaan hukum Austin yang kaku dibantah oleh Hart. Austin memisahkan dua pembagian hukum yakni hukum tuhan dan hukum manusia. Hukum tuhan menurutnya adalah hukum yang dibentuk oleh tuhan dan harus dianggap sebagai hukum. Sedangkan hukum manusia menurutnya ialah hukum yang dibentuk dari manusia untuk manusia kedalam dua kategori, pertama hukum positif yang dibentuk oleh manusia dan manusia lainnya yang memiliki kedaulatan atau suprioritas untuk membentuk aturan beserta dengan perintah dan sanksi yang diaturnya. Kedua Moralitas Positif Hukum yakni peraturan yang dibentuk manusia tapi tidak dalam kapasitas sebagai orang yang memiliki kedaulatan politik berisi perintah dan sanksi moral. Menurut Austin dalam pembagian yang kedua dalam hukum yang dibentuk manusia untuk manusia ini lebih cenderung sebagai hukum kebiasaan dalam masyarakat.
Dari pandangan kedua ahli ini dapat dipahami jika mahzab positivisme hukum itu secara esensial dibentuk sebagai alat guna menjamin suatu kepastian hukum bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Hukum dapat dibentuk secara objektif, rasional, sesuai dengan kaidah semestinya dan diawali dari fenomena sosial yang nyata (empirik) tertuang dalam suatu peraturan yang dibentuk oleh perangkat formal negara. Dengan adanya mahzab ini pula patut dipahami jika hukum itu secara esensi merupakan suatu aturan yang dibentuk dan dilaksanakan, karena jika hukum tidak disusun melalui suatu peraturan maka hukum itu hanya dianggap sebagai adagium, pandangan atau hanya sebagai kebiasaan saja sehingga jika demikian sulit untuk menemukan dimanakah standarisasi hukum itu dijadikan sebagai pedoman dalam ketertiban kehidupan manusia yang multidimensi.