Mansurni Abadi
Pasca viralnya peretasan yang dilakukan oleh hacker bernama Bjorka yang konon katanya berdomisili di Warsawa, Polandia. Ada empat respon yang publik berikan terhadapnya. Pertama, menganggap Bjorka sebagai ancaman, bukan saja bagi mereka yang datanya dibocorkan tapi juga mereka yang sadar terhadap keamanan diruang maya.
Kedua, menganggap Bjorka sebagai citra alternatif untuk perlawanan terhadap ketidakadilan, hal ini nampak dengan banyaknya dukungan publik terhadap Bjorka, bak Robin Hood meskipun secara hukum apa yang telah di lakukannya itu melanggar hukum namun banyak yang meyakini tujuannya itu baik. Ketiga, kemunculan Bjorka dianggap sebatas dagelan karena mampu menghadirkan keceriaan ditengah masa-masa krisis. Keempat, ada yang menganggap Bjorka itu pengalihan isu dari pihak penguasa itu sendiri, untuk yang keempat inilah yang menjadi titik fokus penulis.
Benarkah Bjork itu Hacktivist
Hacktivism adalah kombinasi aktivisme dengan teknologi yang tujuannya bisa berunsur politis, sosial, maupun keagamaan. Saya pertama kali mengenali istilah itu saat berinteraksi dengan kelompok anarkis atau yang populer disebut anarko serta tenggelam dalam buku-buku yang mereka ciptakan tentang istilah ini.
Anarko sendiri sebuah gerakan yang tidak mempercayai adanya otoritas, baik itu dalam bentuk negara ataupun sejenisnya. Biasanya di ranah maya kelompok ini akan membenarkan pembajakan terhadap segala jenis konten terutama buku sebagai upaya untuk menjadikan ilmu pengetahuan seperti oksigen, kata mereka cobalah anda membuka akun medsos pustaka merdeka maupun pustaka catut lalu mendownload e-book yang mereka ciptakan, dan baca sendiri di awal pembukaan tentang hak cipta.
Sifat internet yang merentasi batas, bagi para anarko dianggap sebagai manifestasi dari anarkisme sendiri oleh karena itu kondisi yang disebut Cyber-anarchy adalah setiap orang boleh menikmati internet tanpa kontrol siapapun perlu dipertahankan. namun pasca internet menjadi kebutuhan kita sehari-hari. Kontrol kemudian mengambil perannya, atau yang kemudian distilahkan Cyber-order. Sampai saat ini antara Cyber-anarchy dan Cyber-order, merupakan dua kutub yang selalu melawan satu sama lain.
Bentuk perlawan yang selalu dilakukan Cyber-anarchy di istilahkan dengan aksi langsung (Direct action) dengan seluruh website maupun medsos mereka yang berkuasa. Kalau menurut pemikiran cyber-anarcy, tujuannya utamanya adalah untuk membuka hal yang selama ini ditutupi, memobilisasi rakyat yang tertindas, mempermalukan mereka yang berkuasa, dan merangsang terjadinya pembangkangan sipil melalui gelombang ketidakpercayaan.
Menurut salah seorang penggerak cyber-anarchy di Vietnam yang sempat saya wawancarai dua hari lalu ada lima ciri Hacktivist yang dalam hal ini berkonteks anarkisme yang bisa menjadi acuan untuk menilai Bjorka, diantaranya yang pertama – aksinya tidak tersekat pada kelompok manapun, disatu sisi dia bisa menyerang pemerintah namun disisi yang lain dia bisa menyerang oposisi. Dengan kata lain poin dari aksi langsung hacktivist dalam konteks anarkisme, bukan untuk mendukung mereka yang anti terhadap pemerintah tetapi melawan segala bentuk tirani otoritas karena yang oposisi pun masih sarat penindasan ketika mereka berkuasa nanti.
Kedua adalah dia tidak akan memberikan disclamer tentang dirinya sekecil apapun termasuk memberikan klu dari mana dia berasal karena jika itu terjadi yang dia lakukan hanyalah mencari sensasi.
Yang ketiga – serangan yang dia lakukan bukan hanya membocorkan tapi juga harus mengambilalih lalu mengacaukan seluruh sistem yang ada.
Yang keempat, apabila dia membocorkan, maka yang dia bocorkan haruslah data-data yang tidak pernah publik ketahui. Kalau ternyata data yang terbocorkan itu sudah publik ketahui sebelumnya, maka yang dia lakukan hanyalah lama dengan mengcopy-paste lagu kemasan baru. Kunci utama dari pembocoran menurut penggerak tadi adalah kebaruan yang sebenar-benarnya.
Kelima, harus ada pesan yang merangsang pembangkangan sipil yang mestinya dia tekankan, baik terhadap pemerintah maupun kelompok yang berpotensi menjadi penguasa selanjutnya. Untuk aktor hacktivist ini sendiri bisa merupakan individu maupun kelompok yang seolah-olah menjadi individu.
Masih menurut penggerak tadi, kalau ke lima ini tidak ada pada diri yang mengaku Hacktivist itu maka bisa kita curigai jangan-jangan kehadirannya hanya untuk mempolarisasi masyarakat untuk lupa pada suatu isu tertentu. Disatu sisi meskipun apa yang dilakukan terlihat melawan pemerintah namun disisi lain pemerintah malah menempatkan diri si hacker tadi sebagai pusat sensasi. Meskipun perhatian publik direbut namun perhatian itu menjadi kosong karena tidak ada pesan-pesan perlawanan terhadap sistem yang telah salah.
Kita patut mencurigai bisa jadi dia adalah buzzer dengan wajahnya yang lain karena buzzer tidak harus mereka yang terlihat pro dengan pemerintah, tetapi buzzer adalah mereka yang mampu membuat polarisasi dalam logika kita dan dihadapkan dengan mereka di masyarakat yang tujuannya untuk menutupi apa yang telah dilakukan oleh elit.
Mewaspadai License of a fool
Kita cenderung anti terhadap kebodohan tapi sebenarnya dunia butuh kebodohan. Cobalah Anda membaca tentang Lakon King Lear oleh Wiliam Shakespeare, maka anda akan temukan sebuah karakter yang sebenarnya tidak bodoh, tapi mampu merusak sekaligus menyegarkan suasana. Tokoh ini kemudian disebut sebagai bodoh yang berlisensi atau ada juga yang menyebut sebagai a wise fool (si bodoh yang bijak). Bjorka yang menebar kehebohan itu, telah mampu membongkar betapa bodohnya mereka yang menjadi menteri sekaligus menghancurkan wibawa mereka yang berada dibawah maupun diatas struktur formal menteri itu, meskipun kita juga patut mencurigai jangan-jangan teknik yang di pakai oleh Bjorka sendiri sebenarnya masihlah dianggap biasa oleh mereka yang memahami dunia peretasan namun menjadi kehebohan di ranah publik, karena dianggap sebagai trik yang hebat. Kalau ini benar, maka Bjorka sendiri adalah sosok License of fool tentu dalam ranah cyber. Tapi siapapun Bjorka itu, dia tahu sepertinya tahu mana yang serius, mana yang bercanda, dan mana yang serius dalam bercanda.
Sumber foto: cnbcindonesia.com