Oleh: Andi Saputra (Jurnalis // AJI Jember)

Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden (Capres) 2024 mendatang. Ini kejutan bagi banyak pihak, khususnya kelompok Islam garis keras yang loyal kepada Anies tapi sekaligus membenci Nasdem.
Kebencian kelompok tersebut, tidak tiba-tiba tapi bermula saat gerakan 212 merangkak menjadi entitas politik. Saat itu, kelompok Islam garis keras mengira bahwa Nasdem yang dikomandoi Surya Paloh memberi intervensi ke Metro TV sehingga pemberitaan gerakan Islam menjadi tidak berimbang. Oleh karenanya, Nasdem tak dihitung sebagai partai yang memperjuangkan kelompok Islam.
Tapi, sikap politik Nasdem yang mencalonkan Anies tentu harus diterima sebagai realitas politik. Meski menukik dan mungkin menyakitkan. Sama halnya saat Prabowo tiba-tiba masuk Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Dalam realitas politik yang demikian, kelompok Islam garis keras tadi tidak ada pilihan lain, kecuali tetap mendukung Anies sembari memaafkan Nasdem.
Satu-satunya alasan untuk menjawab kenapa Nasdem memilih Anies ketimbang Ganjar Pranowo, atau sejumlah nama lain yang sempat dikantongi Nasdem sebagai capres yang akan diusung awal Juli lalu adalah karena Anies kuat. Cukup titik.
Anies memiliki basis masa yang cukup kuat dan loyal. Pada citra politik Islam, Anies hampir tidak ada saingan. Nasdem membaca dari nama-nama lain yang muncul, Anieslah yang akan dengan mudah unggul di kantong suara muslim. Seperti di Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Riau, dan Jawa barat.
Berdasar realitas tersebut, Nasdem hanya perlu sedikit bekerja dan Anies menang di Pemilu 2024. Strategi Nasdem yang mendeklarasikan calon lebih awal, terbukti manjur. Setidaknya, dua kali uji coba yakni pada saat mendeklarasikan Jokowi di Pemilu 2019 dan saat mendeklarasikan Ridwan Kamil saat bertarung di Pilgub Jawa Barat tahun 2017 lalu.
Inilah yang disebut realitas politik. Para pemilih kita belum secerdas yang kita bayangkan, sebab masih menilai calon dari citra yang ditampilkan. Kita bisa mencatat jika citra politik Islam sebetulanya bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil polesan tim pencitraan yang juga dipompa kelompok BuzzeRp..
Kenapa demikian? Pada pilpres 2014 sangat jelas Anies adalah loyalis Joko Widodo yang sangat kontra narasi dengan HRS. Namun setelah dia dibuang oleh Jokowi dan akan bertarung sebagai cagub DKI Jakarta, Anies tiba-tiba mengadakan silaturahmi dengan HRS. Waktu itu, HRS menjadi mercusuar kekuatan politik Islam setelah berseteru tajam dengan Ahok dalam kasus Al-Maidah 51.
Anies menggunakan gerakan HRS untuk merebut kursi gubernur DKI. Runtutan sikap politik Anies ini yang jarang dibaca teliti oleh kelompok Islam garis keras. Tentu hal itu, berbeda dengan pentolannya yang secara sengaja menjaga ketidaktahuan kelompoknya karena daya tawar kekuatan politik yang demikian lumayan untuk gaya-gayaan dan jualan.
Apapun yang terjadi, Nasdem menang satu langkah dalam urusan Pilpres 2024. Demokrat dan PKS atas deklarasi Nasdem pasti gamang dan sepertinya akan membebek menjadi satu gerbong gemuk dukung Anies. Untuk porsi wapres tentu akan sangat sentimentil dan memakan banyak korban.
Sementara untuk para calon nasionalis seperti Ganjar, Prabowo, AHY, atau Puan masih belum jelas nasibnya. Ganjar yang dideklarasikan oleh PSI itu, soal yang belum bisa dihitung. Sebab PSI dibawah 4 persen jauh untuk mencapai presidential threshold. Walau secara hitungan sederhana yang paling potensial diantara nama di atas tetaplah Ganjar.
Prabowo di Pilpres 2024 dapat kartu mati. Selain karena usia, basis pemilih saat ini lebih suka calon muda. AHY bernasib sama. Akhir-akhir ini statmennya kerap blunder dengan modal hanya 7,77 persen semakin berat bagi AHY untuk maju sebagai Capres, bahkan juga berat untuk kursi Wapres. Sementara, Puan Maharani lebih malang lagi, meski sudah dipompa sejak 2019 namanya tak segera mengapung malah justru tidak begitu diterima di internal partainya karena kalah pamor dengan Ganjar.
Namun yang membahayakan adalah jika pada Pilpres 2024 mendatang calon hanya ada dua. Dengan kondisi pemilih yang masih seperti ini, potensi polarisasi politik identitas akan sangat mungkin kembali terulang.
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Jika anda punya kepentingan masuklah menjadi tim pemenangan dan dukunglah dengan serius, jika beruntung serpihan kesejahteraan akan mendarat ke anda usai Pilpres. Jika tidak cukup pilih salah satu dan selesai, lupakan. Ingat politik tak mengenal perasaan, maka jangan gunakan perasaan apalagi kepercayaan.
Politik hanya soal kepentingan, diluar itu tidak ada lagi. Jika ada yang tanya kenapa kok deklarasi Nasdem untuk Anies terkesan mendadak dan disela tregedi kemanusian kanjuruhan Malang? Jawabanya jelas, Surya Paloh ingin menyelamatkan nasib Anies yang sedang diburu ketua KPK dalam dugaan kasus Formula E. Dalam hal ini, KPK sangat terihat politis dan kejar target sebab dugaan permulaan korupsi Formula E yang menyasar Anies itu tidak ada. Mungkin sedang diada-adakan.
(Editor: Renci)
Sumber foto: detik.com