Oleh Rofiqul ‘Anam
Fenomena literasi saat ini menjadi perbincangan hangat baik di berbagai macam platform digital maupun di dalam ruang-ruang intelektual. Dalam memaknai literasi tentu tidak hanya perihal membaca dan menulis, lebih dari itu literasi merupakan keterampilan yang nyata. Saat ini, persoalan literasi di Indonesia masih menjadi urgensi yang harus segera dibenahi. Berdasarkan data dari World’s Most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal kemampuan literasi, sementara hasil riset dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari seribu masyarakat Indonesia hanya satu diantaranya yang memiliki minat membaca. Sedangkan untuk Provinsi Lampung, hasil Indeks Aktivitas Literasi Membaca pada seluruh Provinsi di Indonesia dalam dimensi budaya mendapatkan nilai 19,43 persen, ini menjadikan Provinsi Lampung berada di satu tingkat di atas Papua dengan pendapatan nilai terendah yaitu 13,72 persen.
Perihal Tuntutan dan Fasilitas
Degradasi terhadap budaya literasi terkhusus di Provinsi Lampung dapat dilihat melalui beberapa faktor yang melatar belakanginya. Pertama, setereotipe masyarakat yang kini menganggap bahwa tidak adanya tuntutan yang mengharuskan mereka untuk menggelorakan budaya literasi, kesadaran masyarakat masih minim terhadap persoalan semacam ini, alih-alih di lembaga pendidikan seperti kampus misalnya, aktivitas membaca buku dinilai sebagai sesuatu yang tabu dan akan terlihat asing apabila terdapat mahasiswa berada di ruang lingkup kampus yang lebih memilih membuka buku daripada handphone miring dengan game online di genggamanya. Padahal, buku memiliki peranan penting untuk mendobrak keterbatasan serta menjawab persoalan pendidikan. Kedua, minimnya fasilitas yang terjangkau untuk mengakses dan melakukan aktivitas literasi, baik secara umum maupun individu. Masyarakat Provinsi Lampung masih kesulitan mendapatkan ruang-ruang literasi dengan suasana dan vibes yang nyaman dan positif sehingga betah berlama-lama dengan buku, seperti rumah baca, taman pustaka, lorong baca, perpustakaan modern, coffeshop dan lain sebagainya. Hal ini dapat disebabkan karna persoalan literasi dirasa belum menjadi urgensi yang wajib dimasukan kedalam skala prioritas baik oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan atau masyarakat dalam melaksanakan kewajiban. Tentu, hal ini tidak semata-mata untuk kita biarkan mengalir begitu saja, alih-alih hanya kita jadikan tontonan belaka. Kita dituntut untuk mampu menjawab persoalan-persoalan kompleks yang menjadi urgensi bersama, termasuk persoalan literasi. Kesadaran akan pentingnya menumbuhkan serta merawat budaya literasi harus ditanamkan sejak dini, tentu dengan dilengkapi fasilitas yang terjangkau dan memadai.
Literasi tumbuh dari akar rumput
Budaya literasi berangkat bukan dari ruang-ruang rapat, event tahunan, program atau gerakan-gerakan seperti duta literasi, bunda literasi dan lain sebagainya. Semua itu nyaris hanya sekedar jargon dan ceremonial belaka yang menjadikanya tidak esensial. Akan tetapi, budaya literasi itu tumbuh dari akar rumputnya, yaitu melalui ruang-ruang kecil yang menjadi habbit dan kemudian menghasilkan ekosistem positif disekelilingnya, seperti rutinitas diskusi, bedah buku, atau hanya sekedar ngopi dengan ditemani perbincangan hangat perihal isu yang hari ini sedang ramai. Sederhananya, budaya literasi secara efektif dapat dikembangkan melalui gerakan-gerakan yang sifatnya horizontal, salah satunya dengan komunitas misalnya. Di dalam komunitas terdapat ruang-ruang kecil nan massif yang dibungkus dengan berbagai macam program dan gerakan perihal literasi. Melalui komunitas, budaya literasi dapat sampai kepada seluruh lapisan masyarakat yang ada dan akan menjadi ekosistem positif yang terus berkembang, sehingga akan terbentuknya kehidupan masyarakat dengan budaya literasi yang tinggi. Seiring berjalanya waktu, gerakan-gerakan komunitas kerapkali mengalami turbulensi akibat berbagai macam permasalahan baik dari internal maupun eksternal. Oleh karna itu, ini adalah tugas kita bersama sebagai generasi penerus bangsa untuk ikut serta dalam mengambil peran, melawan keterbatasan, serta meningkatkan kemauan dan kemampuan agar dapat menciptakan gerakan-gerakan tersebut. Memang tidak mudah untuk memulai sesuatu yang sudah lama rapuh dan dibiarkan berdebu, tapi selamanya kita akan terjerumus kedalam jurang degradasi ketika kita tidak mau berusaha untuk naik ke tempat yang lebih tinggi. Selain itu, peran serta dukungan dari pemerintah dalam hal ini juga sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan gerakan. Hari ini sudah saatnya masyarakat dan pemerintah berkolaborasi untuk bersama-sama menumbuhkan kesadaran akan pentingnya merawat serta menumbuhkan budaya literasi. Tak ayal, ketika masyarakat Provinsi Lampung hari ini sudah memiliki kesadaran akan urgensi literasi yang kemudian diringi dengan aksi serta terjangkaunya fasilitas yang memadai, bukan tidak mungkin Provinsi Lampung akan memiliki tingkat literasi yang tinggi.