Gegap gempita organisasi masyarakat dan sekaligus organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki nomenklatur Muhammadiyah semakin deras. Belum lama kemarin Muhammadiyah tuntas melaksanakan permusyawaratan Akbar yang di helat di Kota Solo. Memilih Stadion Manahan sebagai lokasi pembukaan Muktamar, Muhammadiyah menghadirkan jutaan warganya untuk mengepung Kota Solo November lalu. Jangan tanyakan bagaimana riuh nya di dalam Tribun Stadion jika di luar stadion saja penuh sesak oleh seluruh Warga Muhammadiyah yang hadir dari berbagai pelosok Nusantara. Disusul oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung yang juga telah menyelenggarakan Musyawarah Wilayah 11 Februari kemarin dan juga berhasil memadati salah satu kecamatan yang ada di Lampung Timur.
Dengan besarnya anggota Muhammadiyah yang ada saat ini dan seluruh asset yang dimiliki, rasanya sulit menerka bagaimana perasaan KH. Ahmad Dahlan apabila beliau melihat perkembangan organisasi yang di dirikanya 1 abad yang lalu. Dimulai dari keluarganya sendiri yang bahkan banyak di tolak oleh sanak saudaranya dan hanya bermodalkan beberapa santri saja, hari ini Muhammadiyah menjelma menjadi organisasi besar yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Bangsa. Sumbangsih Muhammadiyah dalam mengisi kemerdekaan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Dari sejak Bangsa ini berdiri sampai dengan hari ini Muhammadiyah telah melahirkan banyak sekali tokoh Bangsa yang turut berpartisipasi mengharumkan dan memajukan Bangsa Indonesia.
Namun ada beberapa perbedaan mencolok dari sejak didirikanya Muhammadiyah sampai dengan hari ini. Dulu untuk menjadi Pimpinan Muhammadiyah identitas yang paling melekat adalah adanya gelar Kiyai Haji pada pimpinanya. Tercatat sejak tahun 1912 Muhammadiyah didirikan sampai dengan tahun 1995 hampir semua Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah memiliki Gelar Kiyai Haji. Mulai dari KH. Ahmad Dahlan sampai dengan KH. Ahmad Azhar Basyir yang menjabat selama 5 tahun dari 1990 – 1995. Seolah-olah Gelar Kiyai Haji menjadi privilege untuk menjadi seoranga Ketua Umum di Muhammadiyah. Namun pasca tahun 1995, hal itu mulai sedikit berubah.
Diawali oleh Prof. Dr. Amin Rais, M.A. yang terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1995 – 1998. Disusul kemudian oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. Din Syamsudin, dan kini tampuk kepemimpinan tertinggi di Muhammadiyah di pegang oleh Prof. Dr. Haedar nashir, M.Si. dari tahun 1995, kurang lebih 26 tahun terakhir ini Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah tidak lagi berlabelkan Kiyai Haji, namun sudah bergeser menjadi seorang Guru Besar.
Tak jauh berbeda dengan Provinsi Lampung yang beru saja selesai menggelar musyawarah tertingginya. Dari hasil Musyawarah tersebut secara mufakat di sepakati bahwa Ketua PWM Lampung Periode 2022-2027 adalah Prof. Dr. Sudarman, M. Ag. Sedangkan Ketua PWA Lampung Periode 2022-2027 adalah Prof. Dr. Enizar, M. Ag.
Kedua-duanya adalah sama-sama Guru Besar dan mendapat gelar sebagai seroang Profesor. Tentu hal ini menjadi symbol tersendiri bahwa Muhammadiyah komitmen dalam dakwah dengan konteks keilmuan modern yang dimiliki tanpa mengesampingkan falsafah dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tren dari Kiyai Haji menjadi seorang Profesor itu sejatinya bukan perubahan yang negatif, tapi justru sebuah bukti bahwa Gerakan Muhammadiyah Lampung selalu mengikuti zaman. Maka dengan ini dapat dijadikan sebagai sebuah indikator bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan dakwah Modern yang terus selalu hadir untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Terakhir, kami ucapkan selamat kepada Prof. Dr. Sudarman, M. Ag. Yang terpilih sebagai Ketua PWM Lampung Periode 2022-2027 dan Prof. Dr. Enizar, M. Ag. Yang terpilih sebagai Ketua PWA Lampung Periode 2022-2027. Semoga dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya dan membawa Muhammadiyah serta Aisyiyah di Lampung ini menjadi lebih unggul lagi.
Sumber foto: Dok. PD Pemuda Muhammadiyah Kota Metro