Ditengah hiruk pikuk kebisingan politis, kita perlu mengingat dua peristiwa yang teramat penting bagi kesatuan bangsa Indonesia yaitu pada tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda dan pada tahun 1945 dengan perumusan pancasila.
Sumpah pemuda bukan saja menghancurkan sekat-sekat perjuangan berbasis etnik dan agama namun meneguhkan identitas kebahasaan kita melalui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Oleh banyak ahli, sumpah pemuda merupakan satu tonggak utama dalam sejarah sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia yaitu bersatu dalam perbedaan suku, etnis, dan agama.
Sebelum terjadinya sumpah pemuda, sebenarnya telah muncul kesadaran akan penindasan yang diakibatkan kolonialisme dan imprealisme. namun pada ketika itu perjuangan, masih terkungkung dalam sekat identitas masing-masing.
Pengkotakan perjuangan berbasis perbedaan identitas bukan terjadi secara otomatis namun terpengaruh oleh kebijakan pemerintah kolonial yang mengkotak-kotakkan berbagai kelompok etnis di Hindia Belanda secara hukum menjadi golongan Eropa (Europeanen), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan Bumiputera (Inlander). Kebijakan devide et impera atau pecah belah dan perintah ini terbukti efektif bahkan sisa-sisannya melekat hingga saat ini dan kemungkinan nanti
Sumpah pemuda pada ketika itu memang bukan sebatas penegasan seperti yang kita wariskan hari ini dan nanti, namun pembangkangan terhadap sistem yang merusak perjuangan sekaligus kesadaran akan persatuan dalam perjuangan.
Kondisi objektif terkait Indonesia, hari ini dan nanti tentu akan menjadi ruang untuk semua. Menjadi ruang untuk semua bukan berarti menghilangkan identitas yang melekat pada kita, bukan pula menjadikan persatuan sebagai alat politis yang malah memecah belah. Menjadi ruang bermakna ada praksis kasih sayang dan rasa hormat sebagai sesama bangsa.
Peran Intelektual muda
Kaum muda itu identik dengan kaum terpelajar, kalau kata sahabat GMNI kebanyakan kaum muda itu pemikir pejuang- pemikir pejuang .
Oleh karena itu sebagai kaum intelektual tentu tugas mereka bukan sebatas lulus lalu berkerja namun berkontribusi pemikiran dan gerakan untuk bangsa. Teringat satu paragraf dari buku Tugas Cendekiawan Muslim, karangan Ali Syariati yang diterjemah Amin Rais, pada bab tentang Piramida Sosiologi Kebudayaan:
“Kita, kaum muda, para intelektual, dan kelas terpelajar dari bagian dunia ini harus menyadari bahwa kita sedang menghadapi suatu konflik yang serius dalam masyarakat. Bila konflik ini tidak dirasakan, dipahami, ditemukan, dianalisis, dievaluasi secara berani, kita akan menjadi mainan keadaan yang ditentukan semata-mata oleh periode sejarah mendatang. Sebaliknya, bila kita berhasil menyadari hakikat konflik tersebut dan menyadari dampaknya pada eksistensi kita; bila kita mampu melihat dengan cermat dan menganalisisnya, sehingga kita dapat memilih segi-segi yang baik dari konflik itu atau sama sekali melenyapkan segi-segi buruknya, maka kita akan dapat memainkan peran intelektual kita yang sebenanrnya dalam menentukan dan membentuk nasib sejarah kita. Jika tidak demikan maka kita tidak lebih dari sekedar boneka-boneka buta tanpa kesadaran dari sang nasib. Atau kita akan seperti penulis yang bicara tentang nasib dan bagaimana nasib itu menentukan manusia dan kehidupannya, tetapi mereka tak henti-hentinya menumpuk kekayaan dan memperbesar kekuasaan.”
Menilai kaum muda yang terpelajar hanya dari apa yang mereka lakukan dan seharusnya mereka lakukan dengan dikotomi cocok atau tidak buat saya terlalu sempit. Karena jika menilai yang muda hanya sebagai seorang yang menuntut ilmu agar bisa mendapatkan pekerjaan, maka berorganisasi apalagi sampai berdemo dan mendaku dirinya aktivis tidaklah sesuai atau terlalu penting. Namun, jika berbicara soal etik, apalagi terkait dengan perubahan sosial, maka apa yang mereka lakukan merupakan suatu keharusan. Apalagi sejarah membuktikan bahwa gerakan kaum muda selalu mengambil peran penting dalam pergerakan perubahan sosial bahkan politik.
Oleh: Mansurni Abadi