Oleh Abdurrahim Hamdi, M. A.
Keimanan di dalam diri seorang mukmin akan selalu bergerak, naik atau turun. Bergerak naik ketika dia selalu melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya, dan akan menurun ketika dia berbuat maksiat. Baik maksiat dengan melakukan yang dilarang oleh Allah SWT atau meninggalkan apa yang diperintahkan kepadanya. Sebab, perbuatan maksiat itu tidak selalu berarti melanggar perintah Allah SWT, tetapi melalaikan kewajiban yang disyariatkan Allah SWT dan Rasul-Nya juga merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Misalnya, enggan membaca ayat-ayat Al-Qur`an, enggan mengikuti majelis ilmu, atau menunda-nunda waktu shalat, dan sebagainya. Jika kemaksiatan-kemaksiatan kecil ini terus dipelihara, maka tidak butuh waktu lama untuk membuat seorang mukmin melakukan kemaksiatan yang besar.
Jelaslah bahwa naik turunnya keimanan itu akan sangat berpengaruh pada amaliah seorang mukmin. Oleh sebab itu, seorang mukmin dituntut agar selalu istiqamah dalam beribadah kepada Allah SWT, sehingga keimanannya pun akan stabil, bahkan cenderung meningkat. Untuk menjaga keistiqamahan tersebut, haruslah mampu menahan godaan setan yang selalu memengaruhi untuk lalai dalam menjalankan perintah Allah SWT. Selain itu, kita juga dianjurkan untuk memohon pertolongan Allah SWT agar selalu menjaga keimanan kita. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya iman di dalam hati kalian itu dapat lusuh seperti lusuhnya baju, maka mohonlah kepada Allah SWT agar ia selalu memperbarui keimanan dihati kalian.” (HR. Hakim dan dihasankan oleh Al-Bani).
Dengan naik turunnya iman di dalam hati, tentu membuat ibadah sebagai ujian tersendiri bagi seorang mukmin. Sebab, bagaimanapun juga ketika kondisi keimanan sedang menurun akan membuat kita malas untuk beribadah, sekalipun ibadah yang ringan. Tetapi, ketika kondisi keimanan sedang meningkat, maka ibadah yang berat pun akan menjadi sangat ringan. Oleh sebab itulah, dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan untuk menghadapi ujian yang berat, ketika kita malas dan enggan untuk beribadah kepada Allah SWT. Begitu juga dibutuhkan kesungguhan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas ibadah kita ketika keimanan di dalam hati sedang menguat. Dengan kesungguhan dan keseriusan untuk terus istiqamah menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya, kita akan selalu diberikan petunjuk oleh-Nya untuk selalu menapaki jalan yang lurus. Sebagaimana disebutkan dalam firman Qs. Al-Ankabut: 69.
Selain keimanan yang dapat naik turun, jiwa manusia juga sering memiliki kecenderungan untuk berbuat keji. Dengan begitu, seorang mukmin harus selalu waspada agar tidak terjerumus kapada perbuatan keji dan maksiat. Untuk mengontrolnya, Ibrahim bin Adham (seorang ulama Ahlus Sunnah Waljama`ah abad ke-2 H) telah memberikan sebuah solusi yang tepat dalam nasihatnya ketika didatangi oleh seorang laki-laki.
Lelaki itu berkata kepada Ibrahim, “Wahai Syaikh, sungguh jiwaku sedang bergejolak memengaruhi diriku untuk berbuat maksiat maka berikanlah nasihat kepadaku.” Ibrahim menasehatinya, “Jika dirimu ingin melakukan perbuatan maksiat, maka lakukanlah, tetapi aku memiliki lima syarat.” Lelaki itu berkata (ia sangat bersemangat untuk mendengar nasehat si tabib), “Berikanlah syarat itu segera.”
Maka, Ibrahim menyebutkannya. Pertama, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan sesuatupun dari rizkiNya. Kedua, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu bertempat tinggal di negeri-Nya. Lelaki itu pun terheran-heran dan bertanya, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal semua negeri adalah milik Allah?” Ibrahim menjelaskan, “Bila kamu mengetahui akan hal itu, apa pantas kamu tinggal di negeri-Nya dan berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki itu menjawab “Tidak, wahai Ibrahim. Sebutkan yang ketiga!”
Ibrahim berkata, Ketiga, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, maka carilah suatu tempat yang Allah tidak melihatmu. Jika kamu mendapatkan tempat itu, maka lakukanlah maksiatmu kepada Allah! Lelaki itu berkata, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal Allah Maha Tahu segala rahasia dan Maha Mendengar derap kaki semut yang sedang berjalan di atas batu cadas yang keras pada malam yang gelap gulita?” Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki itu menjawab, “Tidak, wahai Ibrahim. Lalu apa yang keempat?”
Ibrahim meneruskan, Keempat, jika datang malaikat maut untuk mencabut nyawamu maka katakan padanya, “Tundalah, sampai batas waktu tertentu!” Lelaki itu pun keheranan, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal Allah berfirman, ‘Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak dapat (pula) memajukannya?’ (QS. Al-Munafiqun: 11). Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, bagaimana kamu mengharapkan keselamatan?’ Lelaki itu berkata, ‘Benar. Berikanlah yang kelima wahai Ibrahim!”
Ibrahim menyebutkan yang terakhir, Kelima, apabila datang kepadamu Malaikat Zabaniyyah (malaikat penjaga Neraka Jahannam) untuk menyeretmu ke Neraka Jahannam, janganlah engkau pergi bersama mereka. Lelaki tersebut berkata, “Bahkan, mereka akan menyeretku dengan paksa.” Kemudian ia menangis lalu berkata, “Cukup wahai Ibrahim! Aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya.” Setelah diberikan nasihat tersebut, lelaki itu pun akhirnya selalu beribadah dengan tekun hingga akhir hayatnya.
Manusia memang diberikan akal, pikiran, dan nafsu oleh Allah SWT yang membuat manusia lebih sempurna dibanding makhluk yang lain. Dengan akal dan pikiran tersebut juga menyebabkan manusia diberikan amanah yang sangat besar, yaitu sebagai khalifah d muka bumi. Tetapi, akal dan pikiran itu dapat condong ke dalam ketaatan atau kemungkaran tergantung pada ma’rifah (pengetahuan) yang dimilikinya. Oleh karena itu, akal harus selalu diisi dengan pengetahuan dan pemahaman agama yang baik, sedangkan nafsu harus dikontrol dengan ruh iman dan taqwa. Hal itu merupakan nutrisi yang harus dipenuhi untuk akal dan nafsu kita, sehingga tidak condong kepada perbuatan yang dimurkai oleh Allah SWT.
Apabila nutrisi akal dan nafsu itu terpenuhi dengan baik, maka kita akan dapat melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dengan mudah dan bersemangat. Ibadah kita akan semakin khusyuk dan tuma`ninah serta sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, karena telah dibekali dengan pengetahuan yang benar. Selain itu, kita pun akan lebih mudah untuk menangkal nafsu-nafsu yang mendorong kita untuk berbuat kemungkaran. Namun demikian, sebuah pembiasaan akan perbuatan baik itu harus dilakukan dengan sedikit demi sedikit, diwali dari yang mudah, serta dilaksanakan dengan tekun dan istiqamah. Bagitu pun dalam beribadah, jika kita masih merasa berat untuk melaksanakan ibadah seperti ibadahnya para salafus shalih dan ulama, tidak ada aib bagi kita untuk mengawali dari ibadah yang ringan dengan tetap memperhatikan yang wajib. Pada hakikatnya, setiap gerak dan langkah seorang mukmin itu akan selalu menjadi ibadah jika diniatkan untuk mengharap ridha Allah SWT dan dilaksanakan dengan rambu-rambu yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Misalnya, mencari nafkah, makan dan minum, qailulah (tidur siang), berolahraga, mandi, berhias diri, dan sebagainya. Jika hal itu dilaksanakan sesuai dengan rambu-rambu yang ada dalam Islam, seperti mencari nafkah dengan pekerjaan yang halal, tidak merampas hak orang lain, dan tidak membuat kerusakan di muka bumi maka itu juga merupakan perwujudan dari keimanan dan ketakwaan seorang muslim. Dan itu juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Editor: Renci